30/11/11

Bebas Ekspresikan Gagasan

Bekal Sineas Lokal Produksi Film Indie
Sumber: Radar Kudus

FILM indie memang berbeda dengan film yang selama ini dikenal dengan film yang di putar di bioskop. Meski secara prinsip pembuatan film indie dengan film lain tidak jauh berbeda, namun kesan bebas berekspesi jauh melekat di film indie garapan sineas lokal.

---

BERBICARA mengenai film indie, seorang pemerhati film dari Universitas Muria Kudus (UMK), Fajar Kartika mencoba menjelaskan terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan film indie. Apakah film yang berdurasi pendek? Atau film yang digarap dengan alat yang sederhana?

Mengutip pernyataannya Slamet Raharjo, Fajar mengatakan yang dimaksud film indie bukan film yang berdurasi pendek, atau yang menggunakan peralatan sederhana. Tapi film yang penggarapannya tanpa ada campur tangan kapitalis.

"Tidak menutup kemungkinan, film indie penggarapannya lebih bagus daripada film mainstream. Juga bukan berarti, film indie itu menafikan uang," katanya.

Dia mencontohkan, film itu tidak bisa dikatakan film indie, karena pada proses penggarapannya, ada pihak tertentu yang mencampuri. Karena pihak tersebut yang mendanai, maka hasilnya harus sesuai dengan keinginan pihak yang mendanai.

Contoh lain yang jelas terlihat pada film Warkop yang dibintangi Dono, Kasino dan Indro. Karena waktu itu belum ada larangan iklan rokok, maka pada film itu, ketika mengeluarkan rokok, bungkusnya harus diperlihatkan pas di depan fokus kamera.

"Nah kalau seperti itu, kan tidak bisa lagi disebut film indie. Karena ada pihak tertentu yang mengintervensi, agar film itu menampakkan produk tertentu," jelas dia.

Kalau film pendek, atau yang menggunakan peralatan sederhana, tapi masih ada pihak tertentu yang ikut campur, dia lebih suka menyebutnya dengan film pendek atau amatir. Karena bagi Fajar, film indie itu penggarapannya tanpa ada campur tangan pihak tertentu, berikut proses distribusinya, tidak melalui jaringan kapital.

"Jaringan itu seperti perusahaan rekaman, atau toko-toko yang menjualkan produk-produk film. Film indie itu, proses distribusinya lebih pada komunitas. Semakin banyak komunitas yang dijaring, maka semakin lancar distribusinya," ujar dosen FKIP UMK ini.

Kalaupun ada film indie di rental-rental VCD lanjutnya, itu bukan karena keinginan produser untuk memasukkannya. Tapi karena keaktifan sang pemilik rental tersebut, yang ingin memasarkan film tersebut.

Berbicara mengenai film indie, secara prinsip pembuatan filmnya tak jauh berbeda dengan film pada umumnya yang sudah dikenal masyarakat luas. Namun yang paling kentara adalah kesan bebas berekspesi jauh melekat di dalam garapan film indie. Hal itu pula yang mendasari pembuatan film indie di Jepara.

Kebebasan yang dimaksud dalam kata indie itu sendiri dimaksudkan bahwa film jenis ini memberikan ruang kebebasan bagi para pembuatnya dalam mewujudkan konsep atau gagasan yang ada dibenak pembuatnya. Tidak ada embel-embel yang berupa titipan ataupun tuntutan pihak lain. Misalnya titipan produser ataupun atasan, tuntutan pasar dan lain-lain. Karya film yang hadir benar-benar menampilkan keaslian pembuatnya.

Gaung film indie di Jepara sendiri tidak terlepas dari efek film indie dari kota-kota besar. Itu semua diawali pada tahun 2001. Saat itu, Jepara kedatangan tokoh film indie yaitu Arya Kusumadewa dengan film indie yang berjudul Bed.

"Kami saat itu terprovokasi oleh Arya agar di Jepara juga bisa menghasilkan film-film indie. Menurut Arya, Jepara punya potensi besar mengembangkan film indie," ujar Noengverro salah seorang sutradara film indie kepada Radar Kudus.

Film indie buatan sineas-sineas muda Jepara mulai muncul setahun kemudian pasca pemutaran Bed. Diawali film berdurasi pendek 'Freedom' yang bermakna kebebasan. Film ini menceritakan kisah seorang PSK yang berusaha keluar dari kungkungan lokalisasi.

"Kisah ini menceritakan seorang PSK yang ingin insyaf dan kembali ke jalan benar. Itu bagian dari upaya untuk mendapatkan kebebasan," jelas Nung.

Selepas film itu, pelan tapi pasti bermunculan berbagai film indie lain. Eksplorasi ide yang makin berani. Bukan hanya sebatas keberanian untuk tampil beda. Kesan bebas makin terasa.

Tidak kurang puluhan judul film sempat muncul ke permukaan. Dilihat dari kuantitas dan kualitas film indie produksi Jepara, memang belum mampu menyamai flm indie karya sineas kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta dan Jogyakarta.

Namun semangat para sineas muda Jepara, jangan ditanya. Dengan modal pas-pasan bahkan harus tekor, mereka tidak patah arang. "Tidak ada rotan akar pun jadi," ungkap Ali Masudi Dec salah satu sutradara film indie terkemuka di Jepara.

Pemilik Joglo Film Jepara (JFJ) ini mengaku terus tertantang membuat film indie. Sudah sekitar tujuh film indie telah dibuatnya. Karya-karyanya antara lain; Dibalik Toilet, Logika Terbalik, 173 Kilogram, Perang Obor, Tenun Ikat Troso, Double Casting, dan Sedekah Apem Sukodono. Jumlah ini termasuk produktif. Dengan keterbatasan dana dan fasilitas, Dec mampu mewujudkan impiannya membuat film sesuai dengan keinginannya.

"Saya terobsesi untuk terus melahirkan karya-karya film indie. Ada kepuasan tersendiri usai membuat film meski dengan segala keterbatasan dana," ungkapnya.

Di sisi lain, Asa Jatmiko yang aktif membuat film indie di Kudus mengungkapkan film indie tidak bergantung pada bagaimana pasar, bagaimana modal, dan bagaimaana efek keartisannya. Indie mengalir dari sebuah pemikiran dan kreatifitas cerita.

Sehingga, film indie jauh sangat memuaskan. Tidak terpengaruh atas keribetan dalam proses. "Film indie itu sederhana. Misalkan lighting, tidak melulu lux seperti di sinetron," ujar ayah Onnasandevi Ratuwangi dan Yobellakama Innocensi.

Bahkan, sewaktu membuat karya keduanya, Sketsa Gelisah Api peralatan yang digunakan hanya handycame. Maka, sangat mustahil manakala ada yang mengatakan film indie mahal.

Ia malah merasakan, film indie sangat murah. Namun biaya yang murah dengan jaminan kebebasan berkarya, ternyata belum banyak yang menyentuhnya. Terutama di wilayah Kabupaten Kudus. "Kondisinya berbeda dengan Jepara dan Pati, di mana masyarakat di sana antusias menggarap film indie," ujar aktivis teater ini. (zis/nas/hil)Sumber: Radar Kudus, 21 Des 2008

Sesuatu tentang Spirit Kerja

Jabatan, menurut Mahfud MD, Ketua MK, "tidak perlu diburu, tapi juga jangan dihindari".
Aku terhenyak ketika mendengar ungkapan Pak Mahfud MD pada sebuah wawancara khusus News Maker edisi Mei di METROTV tersebut, tapi sekaligus juga merasa seperti menerima kesejukan. Setelah 4 hari tidak masuk kerja karena banyak hal yang membuatku kecewa, hari ini aku menyegarkan diriku kembali dengan petuah itu. Dan mencoba bangkit kembali, dengan menerima semua kenyataan yang ada.

Seperti selama ini kita rasakan, bahwa semua yang kita perbuat seakan-akan merupakan perbuatan besar, kerja keras yang melelahkan, dan menumpukan pada satu harapan: orang akan menghargai jerih payahku dengan menghadiahiku kenaikan gaji atau jabatan.

Tetapi, kiranya hal itulah yang telah membuat kita lemah. Semangat yang bertumpu kepada harapan semu, yang kita ciptakan sendiri karena merasa lebih, telah menggerogoti semangat yang sesungguhnya, yakni melakukan semua pekerjaan dengan senang hati.

Ketika aku melakukan pekerjaan-pekerjaan yang aku anggap besar sehingga seolah-olah merasa pantas mendapatkan hadiah/reward, maka apa yang aku dapat setelah itu tiada lain kecuali kekecewaan yang akhirnya berujung pada pemberontakan diri. Dan itulah yang aku alami dan rasakan. Ketenangan dan semangat yang relatif stabil terjaga, menjadi sebuah fatamorgana yang sulit aku alami lagi.

Masih ingatkah, pada saat kita mendapat panggilan kerja dan masuk kerja pertama kali? Apa yang ada dalam benak kita hanyalah satu: bekerja dengan sebaik-baiknya, dan dengan suasana hati yang riang. Seperti itulah seharusnya kita menjalani pekerjaan kita, bahkan yang rutin sekalipun. Dan apa sebetulnya yang membuat pikiran baik dan hati riang itu muncul, tidak lain tidak bukan adalah ketulusan, tidak ada pamrih kecuali berusaha melakukan yang terbaik dari yang kita bisa lakukan. Apakah di saat ini, pikiran dan hati sudah tak bisa diarahkan kepada motivasi seperti itu?

Kita akan bisa melakukannya kembali, karena kita pernah bisa melakukannya. Sekarang persoalannya adalah apakah kita mau dengan rela meninggalkan pikiran-pikiran akan harapan, pamrih dan reward, sementara kita tetap melakukan pekerjaan dengan usaha terbaik kita? Karena, dengarlah apa kata Pak Mahfud yang menyejukkan ini, "tidak perlu diburu, tapi juga tidak perlu dihindari." Sebuah penerimaan diri yang pas dalam kondisi apapun. Sebuah pengungkapan diri yang anggun, tanpa menonjolkan diri lebih, sekaligus siap untuk dihadapkan pada situasi dan kondisi apapun.

-AsaJatmiko-

Tuhan, Kesempatan dan RencanaNya

“Begitu hebatnya Tuhan buatku.”
Dia selalu memberi kejutan yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Karena, apa yang saya pikirkan tak selalu benar-benar merupakan apa yang saya butuhkan. Tapi Dia selalu hebat memberikan surprise yang saya butuhkan.

Manakala saya mendapati diriku berlumuran lumpur, kerepotan mengatasi hidup, Dia tidak segera mengangkatku ke atas tanah kering atau membebaskan pundakku dari beban-beban. Tetapi seringkali, yang kumaknai selanjutnya, adalah pemberian beban baru dan masalah baru yang semakin membenamkan diri saya ke dalam lumpur. Memberikan apa yang saya sebut dalam sumpah serapah saya, sebagai dosa buatku.

Saat itu kita tidak sepenuhnya menyadari, bahwa apa yang kita dapat sesungguhnya adalah daya hidup kita yang makin kuat. Bagaimana kita 'dimintaNya' untuk bertahan, memeras otak dan jiwa kita untuk keluar dari dalam lumpur, dengan tetap mempercayakan sepenuhnya ketulusan cintaNya pada kita. Dan itu tak semudah saya menuliskannya, seperti siang ini.

Tapi mungkin manusia, lebih gampang tersentuh ketika melihat keberuntungan yang dilihatnya sebagai Kebaikan Tuhan. Anugrah menjadi terasa semakin indah. Padahal, mestinya, bencana pun dapat dimaknai sebagai anugrah. Sebagai "sama-sama" kehendakNya.

Oleh karena itu, apa yang akan kita kerjakan di depan, harus kita maknai sebagai "kesempatan" sekaligus dalam upaya kita menyelesaikan apa yang menjadi "rencana Tuhan" kepada kita. Agak klise kalau saya harus berkata, kita harus selalu berpikir positif, tapi saya kira itu adalah sikap kita yang bijaksana saat ini.

Mengedepankan prasangka-prasangka positif, tidak akan menjejali pikiran kita akan kecurigaan, kebencian dan pesimistis. Begitulah kita akan menjalani hidup ini dengan lebih sehat. Anugrah dan bencana adalah anugrah, yaitu sebuah kesempatan bagi kita untuk memperbaiki sikap dan perilaku kita bahkan hidup kita, untuk menjadi lebih baik. Dan biarkan Tuhan mengatur skenario hidup kita, dan kita tinggal mengerjakan dan menyelesaikan rencanaNya dengan jiwa yang damai.

Tetap semangat!

-AsaJatmiko-

Kembali pada Cinta

Pada sebuah pagi berkabut, seorang kawan lama semasa SMA, tiba-tiba berkirim kabar melalui e-mail; misa penutupan Bulan Maria ini khotbahnya disampaikan oleh Romo Diakon Tri Kusuma. "Dia sudah makin pinter," katanya. "Semoga imamatnya abadi."

Kawanku ini memang spesial dalam tulisan saya kali ini. Menurut saya, perkataannya bisa bermakna ganda. Ia tidak hanya sekedar menjadi umat yang waktu itu mendengar homili, tetapi ia juga seorang umat yang pernah mengenyam pendidikan bagaimana "berhomili" yang baik menurut tata liturgi ekaristi Katolik. Dia adalah umat jebolan seminari. Paham gelagat sosial kemasyarakatan, mengerti logat para selibat.

Makna ganda yang aku maksud adalah mungkin pujian atau mungkin sindiran, yang mana kedua-duanya menyatakan tidak sesungguhnya sama sekali. Atau respon jujur, bahwa homili yang disampaikan Romo Diakon yang baru 3 bulan kaul itu makin mampu dipahami oleh umat.

Tapi itu tidak penting, karena yang lebih penting adalah surat balasan yang ingin segera saya sampaikan kepadanya. "Rupanya kamu masih setia mengikuti agenda Bulan Maria, Sobat."

Saya menghentikan semua aktivitas rutinku beberapa menit, mencoba menikmati desiran gairah yang tiba-tiba muncul ke permukaan. Seperti naiknya gelembung-gelembung udara dari perut tanah yang berabad kerontang. Membebaskan diri dari hiruk-pikuk kenikmatan tanah, yang sesungguhnya tak abadi.

Ada kelebat sosok-sosok yang dulunya biasa, kini menjadi pemimpin-pemimpin, menjadi imam-imam, entah bagi dirinya sendiri maupun untuk kalangan tertentu. Sosok-sosok anggun yang berdiri penuh simpatik, membagikan senyum dan kegembiraan bagi banyak orang. Tahukah kita, kegembiraan yang kita bagi kepada orang, adalah sama dengan memberikan kegembiraan kepada hati kita sendiri?

Sudah saatnya kembali. Kembali belajar menekuni kesunyian dengan telaten, rajin dan pantang menyerah. Tidak penting bahwa kegembiraan kita akan menyantuni berapa orang. Tidak penting bahwa senyum kita akan dibagi sampai jumlah berapa wajah. Dari dalam jiwa, memurnikan dengan ketulusan setiap saat dan kesempatan, itulah yang hakiki.

Dan itulah kabut pagi ini, perasaan yang mengikat, yang membuat saya ingin kembali mengembara pada sunyi jalan cinta. Kembali pada cinta. Kembali pada sumber-sumber mata air yang mengalirkan cinta. Yang rupanya telah lama saya abaikan.

Saya ingin kembali, menelusuri jalan sunyi dimana di sepanjang jalan tumbuh rimbun doa-doa. Saya ingin kembali menjadi manusia biasa, yang hanya berbekal kesungguhan ketika berurusan denganMu. Amin.

-AsaJatmiko-
Juni 2011

28/11/11

Pokoknya Seru Deh!

“Pokoknya seru deh!” begitu respon Endah, salah seorang penerima beasiswa Djarum Plus (BESWAN) dari Bandung, saat ditanya mengenai kesannya mengikuti Cultural Visit di Kudus, 28 November 2011. Dan memang, sembilan dari sepuluh BESWAN melontarkan kata yang sama: seru, ketika ditanyakan bagaimana kesan mereka terhadap program Cultural Visit ke Kudus. Seru yang dimaksud itu yang bagaimana sih?


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘seru’ memiliki beberapa pengertian. Sebagai kata sifat (adjektiva), seru berarti: sengit atau hebat. Sebagai kata benda (nomina), berarti: ujaran yang biasa digunakan dengan penegasan atau intonasi tinggi. Dan sebagai kata khusus (partikel) yang tidak bisa diderivasikan atau diinfleksikan, memiliki arti: serba, untuk Tuhan -- sekalian alam.

Di dalam pengertian anak-anak muda sekarang, ternyata ‘seru’ memiliki makna yang lebih luas. Bukan hanya berarti hebat, dan bukan hanya diungkapkan dengan intonasi tinggi semata. Hampir mencakup keseluruhan makna yang ada di KBBI, kecuali pengertian ‘seru’ yang berarti untuk Tuhan. Lebih lengkap, karena mewakili reaksi spontan seseorang dalam menggambarkan kesan sebuah peristiwa atau pengalaman. ‘Seru’, bagi anak-anak muda telah menjadi kata yang memilki makna lebih luas dari itu, yang merepresentasikan banyak perasaan dan pikiran positif. Yakni penggambaran bahwa hal peristiwa atau pengalaman yang dilihat, dilakukan atau dialami merupakan pengalaman yang baru, menegangkan, tak disangka-sangka, mengagumkan.

Mari kita simak kunjungan mereka ke Kudus yang kata para beswan ‘seru’ itu. Rangkaian kunjungan budaya atau kita menyebutnya dengan Cultural Visit yang total diikuti oleh tidak kurang dari 450 mahasiswa penerima beasiswa Djarum dari universitas-universitas di seluruh Indonesia ini antara lain mengunjungi unit kerja pembuatan Sigaret Kretek Tangan (SKT) yakni: SKT Pengkol, SKT BL 53 dan SKT Megawon II. Kemudian kunjungan ke Pusat Pembibitan Tanaman (PPT) di Kaliputu, berziarah ke makam Sunan Kudus di kompleks Menara Kudus serta kunjungan ke IPAL.

Setengah hari berikutnya para Beswan diajak mengenal lebih dekat dengan batik khas Kudus, serta praktek membatik yang dilangsungkan di GOR Jati. Batik, sebagaimana telah diakui oleh dunia sebagai warisan budaya Indonesia, di dalamnya juga mengandung proses edukasi dan pengembangan kepribadian. Acara tersebut kemudian dilanjutkan dengan acara Fashion Show Batik di tempat yang sama.


Seperti Anak-anak yang Bertemu Ibunya
Terbagi dalam menjadi 4 rombongan dari 13 bus, para Beswan Djarum menyebar ke empat titik utama kunjungan. Kunjungan ke unit kerja pembuatan Sigaret Kretak Tangan (SKT) di SKT Pengkol, SKT Megawon II dan SKT BL 53. Kemudian ke Pusat Pembibitan Tanaman (PPT) di Kaliputu, kompleks wisata religi di Menara Kudus dan mengunjungi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di dekat lokasi proses produksi rokok SKM (Sigaret Kretek Mesin) Krapyak.

“Selamat datang Para Beswan Djarum. Saya dan kawan-kawan di SKT Pengkol akan memandu adik-adik semua untuk melihat secara langsung proses pembuatan rokok SKT,” sambut Sudjarwo, supervisor SKT Pengkol kepada seluruh beswan. Setelah perkenalan singkat dan menjelaskan prosedur safety induction, ia kemudian mempersilakan para beswan untuk masuk brak, yaitu istilah di Kudus untuk menyebut unit kerja SKT, untuk melihat langsung para karyawati melinting, membatil hingga tahap pengemasannya, dimana semua dilakukan dengan tangan (handmade). Lalu ia menambahkan, hari ini kita sedang memproduksi Djarum Coklat Extra dan Djarum Coklat (reguler).

Para karyawan borong pun terlihat ceria menyambut kedatangan tamu istimewa hari itu. Mereka dengan ramah dan penuh keakraban bertegur-sapa dengan para beswan. Ini membuat para beswan merasa tidak canggung. Mereka langsung mendekati para karyawati, berbaur dan bertegur sapa layaknya keluarga sendiri. Anak-anak yang bertemu ibunya. Setelah bertahun mereka menuntut ilmu di kota lain. Inilah wajah dan keringat ibu yang selama ini telah ikut membesarkan anak-anak Pertiwi. Dan satu tahun ke depan membesarkan mereka melalui program Djarum Beasiswa Plus. Seperti tertuang dalam program Djarum Beasiswa Plus, sejak tahun 1984, Djarum telah secara konsisten bergerak dan turur membangun dunia pendidikan Indonesia.

Hampir seluruh beswan terkagum-kagum. Dengan kecepatan dan ketepatan tinggi, para karyawati borong melinting (di Kudus sering disebut “giling”) batang demi batang. Dan dalam satu hari jam kerja, mereka rata-rata akan memperoleh pendapatan rata-rata 4.000 batang, dengan hasil rata-rata 600 - 650 batang per jamnya. Itu artinya, dalam 1 menit mereka bisa melinting sekitar 7 – 10 batang. “Wah, hebat! Cepat sekali ya!” teriak salah seorang beswan. “Saya sepuluh menit aja belum dapat satu batang!”
Tetapi dengan sabar dan ramah, para karyawati yang melinting rokok tetap mempersilakan para beswan untuk mencoba lagi, melinting rokok. Diajarinya bagaimana jari tangan kanan menjumput tembakau, kemudian menata dan merapikannya ke atas kain mori di alat giling, menuntun tangan beswan mengambil dan menata ambree (baca: kertas rokok) lalu pelan-pelan ditariknya stang gilingan. Jadilah sebatang rokok Djarum Coklat! Meskipun hasilnya belum sebaik buatan para karyawati, para beswan tetap merasa puas dan bangga telah mempu melinting rokok.

Ada pula yang sudah hampir putus asa sesudah berkali-kali mencoba tapi gagal. “Sulit juga, ya, ternyata!” keluhnya sambil mengusap keringat di dahinya. Dengan lembut ibunya menimpali, “Mudah kok, ayo dicoba maneh, nduk.” Fatah, salah seorang beswan dari angkatan 26 yang ikut mendampingi adik-adiknya ini juga menyatakan bahwa para beswan kagum melihat kecepatan dan ketepatan melinting rokok di sini.



Menengok Masa Silam untuk Menatap Masa Depan

Menara Kudus menjadi salah satu dari empat titik utama kunjungan budaya para beswan angkatan 27 tahun ini. Salah satu tinggalan budaya Indonesia dan menjadi kebanggaan seluruh masyarakat, Menara Kudus tetap bersinar dan tetap kokoh seperti bentuk aslinya yang kaya nilai historis hingga saat ini. Bangunan gapura Masjid dan Menara Kudus bentuknya berbeda dengan bangunan masjid pada umumnya di Indonesia. Selain bentuk yang khas, gapura dan bangunan menara terbuat dari tumpukan batu merah pada Masjid Menara Kudus masih menyisakan daya pikat.

Masjid Menara Kudus dulunya bernama Masjid Al-Aqsa, terletak di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Masjid yang didirikan oleh Ja’far Sodiq –kemudian dikenal sebagai Sunan Kudus-- pada 956 Hijriah atau 1549 Masehi ini kini menjadi salah satu tempat bersejarah penting bagi umat Islam di Jawa. Belakangan justru masjid tersebut populer dengan panggilan Menara Kudus. Hal ini lantaran merujuk pada menara candi di sisi timur yang memakai arsitektur bercorak Hindu Majapahit.

Ketika Islam masuk ke Nusantara, menurut Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, memang dengan bijak para penyebar Islam menghargai tradisi leluhur yang dijumpai sambil memperkenalkan ajaran Al Quran. Sehingga, antara agama dan budaya setempat saling menopang dan saling mengisi. "Agama tak berkembang tanpa wadah budaya dan budaya akan hilang arah dan ruh tanpa bimbingan agama," kata Komaruddin.

Toleransi atar umat beragama juga dicerminkan di sini. Menurut salah seorang warga, untuk menghormati pemeluk agama Hindu, warga yang bermukim di Kudus tidak menyembelih binatang sapi, mengingat binatang tersebut dalam Hindu dihormati bagi pemeluknya. "Mereka taat dan masih memegang wasiat (pesan) Sunan Kudus," ia menjelaskan. Dan ini masih berlaku hingga hari ini.
Menurut sebuah laman, yang ditulis Bambang Setia Budi, bangunan menara Kudus mempunyai ketinggian 18 meter, berukuran sekitar 100 m persegi pada bagian dasar. Seluruh bangunan menggambarkan budaya khas Jawa-Hindu. Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen, namun konon dengan digosok-gosok hingga lengket serta secara khusus adanya selasar yang biasa disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang sering ditemukan pada bangunan candi.

Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat soko guru yang menopang dua tumpuk atap tajuk. Sedangkan di bagian puncak atap tajuk terdapat semacam mustoko (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada elemen arsitektur Jawa-Hindu.

Menengok masa silam dengan mengunjungi Masjid dan Menara Kudus, merupakan slah satu bentuk pembelajaran tentang sosial-kemasyarakatan. Para beswan akan menangkap lebih banyak hal penting dari ini. Ada nilai-nilai luhur, kebijaksanaan serta toleransi yang tinggi. Hal ini seiring dengan latar belakang Djarum menetaskan program beswan plus, yaitu perbudayaan dan pemberdayaan mahasiswa berprestasi tinggi, dalam berbagai pelatihan soft skills untuk membentuk manusia Indonesia yang disiplin, mandiri dan berwawasan masa depan serta menjadi pemimpin yang cakap intelektual, emosional dan spiritual. Setelah melihat ke belakang, mestinya kita akan semakin mantap menatap masa depan yang lebih baik.



Menjangkau Langit Meraih Bintang

Perjalanan berikutnya menuju Pusat Pembibitan Tanaman (PPT) yang dikembangkan oleh Djarum sejak tahun 1979. Memang sejak 1977 Djarum sudah mulai melakukan gerakan penghijauan di Kudus, namun management Djarum dua tahun berikutnya, memperluas programnya dengan tidak hanya melakukan penanaman, tetapi juga pembibitan.

“Saya benar-benar tidak menyangka Djarum sehebat ini,” kata Sri Cahya lestari, 19 tahun, beswan dari UIN Bandung kepada WKD di sela-sela kunjungannya di PPT Kaliputu. Ia menambahkan, Djarum ternyata sangat peduli dengan masyarakat dan lingkungan. Mengembangkan olah raga, tanggungjawab sosial dengan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), dan kali ini saya semakin tahu betapa besar kepedulian Djarum terhadap alam dan lingkungan.

Pendampingan kepada para beswan dilakukan oleh Yunan Aditya, dengan menjelaskan bahwa berbagai kegiatan sehubungan dengan penghijauan telah dilaksanakan Djarum bersama masyarakat, institusi serta para aktivis LSM-LSM lingkungan. Salah satunya adalah aksi penghijauan lereng Gunung Muria dengan tanaman peneduh maupun pohon bernilai ekonomi dan penanaman tanaman mangrove di Pulau Karimunjawa. Hal ini diharapkan bisa mempertahankan kawasan penting resapan air kota Kudus, secara makro, juga dapat membantu mengurangi efek pemanasan global.

DAS Bengawan Solo Penghijauan DAS Bengawan Solo menjadi program yang dilakukan Djarum secara berkesinambungan bersama Pemerintahan Daerah dengan agenda: Sosialisasi, Pemberian Pelatihan serta penanaman Pohon Buah Unggul disertai dengan pemberian Sertifikat Tanah/GMRA oleh PBN Propinsi, kepada masyarakat sekitar DAS Bengawan Solo. Jumlah Bibit yang diberikan setiap Kota Kabupaten sebanyak 10.000 bibit pohon buah pertahun sebanyak 14 Kota Kabupaten, selama 5 tahun. Penghijauan DAS Bengawan Solo dijalankan atas dasar keprihatinan PT Djarum pada DAS Bengawan Solo sebagai urat nadi banyak daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Yunan Aditya juga menjelaskan program Djarum Trees for Life dengan penanaman 2.767 Pohon Trembesi (Latin: Samanea Saman) Semarang-Kudus. Dan pada 27 Mei 2010 Djarum Trees for Life telah berhasil menyelesaikan misi tahap pertama yaitu menanam sebanyak 2.767 Pohon Trembesi di sepanjang turus Semarang-Kudus. Inilah semangat Djarum Trees For Life, terus berkomitmen dan konsisten melakukan pelestarian lingkungan Indonesia. Dengan komitmen yang tidak pernah putus inilah, maka Djarum Bakti Lingkungan terus berusaha melakukan penanaman pohon dan ikut berperan serta dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Melalui Djarum Trees For Life, kami berharap di masa mendatang 2.767 Pohon Trembesi dewasa dapat menyerap CO2 sebanyak 78,826,296 kg/tahun. Sehingga menjadi salah satu upaya untuk mengurangi efek pemanasan global, ujar Thomas Budi Santoso, Direktur PT. Djarum kepada REPUBLIKA. Seperti kita ketahui bahwa dalam Konferensi Tingkat Tinggi Puncak Perubahan Iklim pada 18 Desember 2009 di Copenhagen-Denmark menuntut adanya pengurangan emisi karbon dunia harus di bawah ambang batas yang ditargetkan yaitu 25 hingga 40 persen. Sementara Pemerintah Indonesia dalam konferensi tersebut berkomitmen akan mengurangi 26 persen emisi karbon pada 2020. Salah satu solusi upaya mengurangi emisi karbon adalah dengan melakukan penanaman Pohon Trembesi.

Menurut Dr. Ir. H. Endes N. Dahlan, Dosen Fakultas Kehutanan Institut Peranian Bogor mengungkapkan bahwa penanaman Pohon Trembesi merupakan suatu terobosan mengatasi pemanasan global karena memiliki daya serap gas CO2 yang sangat tinggi. Satu batang pohon Trembesi mampu menyerap 28,5 ton gas CO2 setiap tahunnya (diameter tajuk 15m). Selain itu Pohon Trembesi juga mampu menurunkan konsentrasi gas secara efektif, tanaman penghijauan dan memiliki kemampuan menyerap air tanah yang kuat.
Pusat Pembibitan Tanaman (PPT) Djarum yang rencanannya akan diperluas menjadi 30 hektar lebih di Gondangmanis ini tidak hanya melakukan pembibitan tanaman-tanaman yang secara ekonomis punya nilai tinggi. PPT juga turut mengembangkan tanaman langka yang diambil dari Kebun Raya Bogor. Seperti Sempur (Dillenia Indica), Eboni (Diospyros Celebica), dan sebagainya. Selain itu, juga pembudidayaan untuk tanaman-tanaman yang memiliki nilai tradisi-religi tinggi, seperti: Sawo Hijau (Chrysophillum Cainito), Nogosari (Mesua Ferrea), Kepel (Stellechocarpus Burahol) dan semacamnya.

Sebagaimana ‘cita-cita’ setiap tanaman yang ada di PPT, tumbuh semakin besar dan tinggi menjangkau langit. Seperti itulah harapan Djarum terhadap para beswan. Djarum sangat menyadari bahwa pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan bangsa dalam mewujudkan masa depan yang lebih baik. Maka para beswan, jangkaulah langit dan raihlah bintang!


Saatnya Jadi Pelaku dan Berkarya
Para beswan Djarum yang berangkat dari 74 universitas dan perguruan tinggi seluruh Indonesia itu, pada siang harinya berkumpul di GOR PB Djarum Kudus, untuk mengikuti acara Membatik bersama Beswan Djarum. Acara tersebut didampingi oleh ahli-ahli dan perajin batik dari Galery Muria Batik Kudus, pimpinan Yuli Astuti yang juga menjadi Anggota ASEAN Women bidang kerajinan batik. Kehadirannya juga bersama Pengamat dan pecinta batik tradisional dari Galery Batik Kudus perwakilan Jakarta, Miranti Serad Ginandjar.

Aroma khas asap dari malam/lilin untuk membatik, sudah tercium sejak dari luar gedung GOR PB Djarum. Seluruh beswan, dengan kelompok-kelompok kecil sejumlah 4 orang, masing-masing telah menghadapi wajan berisi malam/lilin cair di atas tungku menyala. Dan setiap beswan telah disiapkan masing-masing satu buah canting berikut bahan kain yang telah diberi dasaran motif Kupu-kupu Tembakau. Para beswan hari itu benar-benar menjadi pelaku dari berlangsungnya kebudayaan itu sendiri. Tidak hanya menjadi penikmat.

“Wah, jadi pegel semua nih,” ujar Tiwi dari Bandung. Tapi asyik, buru-buru ia menambahkan. Memang, proses membatik sendiri sebetulnya mengandung banyak pelajaran. Tidak hanya hasil karyanya saja yang memiliki nilai tinggi, tetapi prosesnya sendiri melatih kesabaran, ketelitian, kerapian serta butuh konsentrasi. Dari sini sebetulnya ‘membatik’ juga turut membentuk kepribadian dan jatidiri manusia. Setelah menuliskan namanya di atas kain batik, WKD melihat satu kalimat terselip di sudut kanan atas, “makasih ya Djarum”.

Menurut leaflet yang dibagikan kepada setiap beswan, motif yang akan mereka batik merupakan motif Batik Beswan Djarum yang memiliki 4 gambar dengan filosofi, antara lain: Kupu-kupu Tembakau: tembakau sebagai unsur utama, dan kupu-kupu sebagai simbolisasi atas metamorfosa kehidupan. Kemudian Cengkeh dalam motif ini menggambarkan khasiat rempah sebagai rangkaian nafas hidup. Alat Giling menjadi simbol bahwa keberadaan rokok kretek memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, dan Menara Kudus diejawantahkan sebagai kota asal kretek yang religius dan berbudaya.

Kerjasama dengan Djarum sendiri untuk mengembangkan batik sudah lama dilakukan. "Desain batik Kudus dari perajin RPK (Rumah Pesona Kain) yang konsisten membina pembatik dan menyalurkan produk batik Kudus ke berbagai kalangan, sudah digunakan sebagai aplikasi pada busana seragam staf Djarum. Aplikasi motif batik Kudus dengan warna dasar abu akan ditampilkan pada bagian tangan dan punggung pada seragam kerja staf. Di Djarum, batik Kudus sudah dipakai serempak 21 April yang lalu untuk memperingati ulangtahun Djarum," jelas Renitasari, program director bakti budaya Djarum Foundation, yang dikutip dari Kompas Female.

Seorang beswan dari Kalimantan yang diwawancarai oleh pembawa acara, mengatakan bahwa acara membatik tersebut sangat bagus. Karena ia merasa diajak untuk menjadi pelaku budaya. Meski diakuinya, masih sangat kurang, karena ia sendiri baru melakukan (membatik) untuk pertama kalinya. Sebelumnya tidak pernah. Sementara seorang beswan dari Medan mengungkapkan kegembiraannya. Ia merasa senang telah terlibat dalam program ini. “Luar biasa,” katanya.

Acara praktek membatik bersama beswan Djarum berlangsung sekitar 45 menit. Setelah itu acara dilanjutkan dengan peragaan busana batik khas Kudus. Berkali-kali para beswan memberika apresiasi dengan tepuk tangan meriah melihat gelaran batik-batik khas Kudus yang indah dan menggoda tersebut.

Di balik semua itu, tersimpan makna bahwa sudah saatnya kita-lah yang harus menjadi pelaku-pelaku atas pelestarian dan pengembangan kebudayaan kita agar semakin maju dan beradab. Atas budaya sendiri, kita seharusnya yang ambil peranan terbesar. Menjadi aktor utama untuk menuntaskan semua pekerjaan kita untuk bangsa ini. Di situlah, kedigdayaan Indonesia bisa benar-benar akan teruji dan terwujud, kuat sebagai bangsa yang berkepribadian, dan kuat sebagai bangsa yang besar di mata dunia.


Akhirnya memang, seru tidak hanya melibatkan makna kata semata? Di dalam kata tersebut juga ternyata melibatkan kejiwaan atau perasaan orang tersebut. Pengucapannya pun singkat, tegas dan selalu disertai dengan ekspresi semangat dan kegembiraan. Dan sepertinya, sesudah mengatakan seru, sudah habis pula kata-kata lain untuk menandinginya. Yang ada adalah penjelasan panjang lebar, bagaimana seru itu terbangun. “Serunya itu yang bagaimana?” tanya WKD. Seperti kehabisan kata-kata, dia tetap menjawab lagi, banyak “plus-plus”-nya. “Pokoknya seru deh!” Saya beruntung dapat beasiswa dari Djarum. Sudah sejak semester 1 saya memimpikannya, tambah Sri Cahya Lestari dari UIN Bandung dengan gembira sekaligus bangga.***(asajatmiko)

Indonesia Type 21, -1

Indonesia, lelaki paruh baya, rumah mungil di bawah trembesi
Dimana catatan alamat surat sahabat telah di larung
Ketika ancaman hari depan menjadi sarapan pagi
Dimana aroma wangi tanah basah telah banyak menguap
Ketika setiap malam tidur menjadi saat yang menakutkan

Berhektar hektar ladang menumbuhkan pucuk pucuk harapan
Bagi mulut mulut besar, tapi tidak bagi penyair, bagi Ibunda
Bagi anak anak yang percaya kepada hati nurani
Berhektar hektar ladang membunga percik api kemarahan
Karena angin telah berhembus mengabulkan doa penjual nama

Indonesia, lelaki paruh baya, tabur bunga di pusara ibunya
Dengan bunga yang tak dipetik, tapi dipungutnya setelah gugur
Di tiap senja di bawah trembesi, juga di pusara mimpinya
Hingga terbenam dalam sunyi dendam yang tertahan

Rumah mungil pun mengabut, bidadari kecil menangis di sudut
Ibunda dengan wajah lebam berhias di kaca retak
Matahari terus membakar ladang ladang, memaki ladang ladang
Lelaki menelusup pintu dan teronggok di bawah celah atap
Mencari cari bulan.

Kudus, 2010.

Indonesia Type 21, -2

Indonesia dalam jantung bocah 11 tahun
Berdetak lambat seperti jarum jam di stasiun
Kereta yang ditunggu membawakan mainan
Tak juga muncul
Bersama jutaan bocah lainnya
Bermain, meski bermain sudah tak lagi berhati
Hanya semakin menjauhkannya dari kampung halaman.

Rumah mungil dan trembesi menyimpan kenangan
Sunyi memanggil mengajaknya mati
Lalu cakrawala berpelangi jelaga, sehitam keluh kesahnya:
”Aku ingin melihat hutan, Ma... membelai harimau dan orang utan”
Mengapa ruang telah dimampatkan
Hingga jantung berdetak lamban?

Dia tertidur dalam remang cahaya di antara Matematika dan Agama
Lalu ia bermimpi menulis sebaris email untuk kenalan barunya:
”Apa kau mengenal Indonesia, seperti aku mencintainya?”
Kereta tak jua datang, hanya deru angin menggetarkan pohonan
Tapi di mimpinya, ia melihat kereta telah melaju kencang
Tapi tak berhenti lama
Dan tak menghampirinya.

Kudus, 2010

Denganmu

di gigir Rawapening. sepoi merayu kangen.
aku datang padamu, hati bening.
berpeluk dan bercinta, hingga langgeng.
Sayang, ayo lekas mandi. Bersiap kita melancong
Di satu sudut Jogja yang suri. Nonton pentas wayang wong
Di Ndalem Mangkubumen. Sungkem untuk loyalitas permanen.

Ambarawa - Jogja, 2011.

Face to Face

halus dan lembut
seperti kasih seorang ibu
hangat dan sejuk
begitu ada di depanmu
suasana yang lama kami rindu
bertahun diayun arus waktu.

candi mendut, 2011.

Melukis

detail: gurat senyum bibirmu, alis manis dan bulu mata wibawa
Juga sorot mata elang yang bikin dia terjatuh saat menatapmu
Serta suaramu, kulukis, suara yang telah membiusnya ke masa lalu
Dan dia tahu, lukisan itu kini abadi. Dengan bingkai sekuat jati.

Kudus, 2011.

Lumbini

dengarkan yang kau rasa indah
rasakan lembut buainya
lalu hanyutkan di gairahnya
dan biar kutunggu saatnya nanti
ucapan kalimatmu yang kubenci
ku tunggu kau di taman lumbini
betapa rapuh raga kita ini.

Kudus, 2011.

Ledakan

derai tawamu semalam
menjadi bulirbulir airmataku
peraman sepanjang 13 tahun
senyum pada kisahkisah manismu
bercengkrama dalam hujan
akhirnya memang harus tahu diri
desah bisa jadi ledakan.

Kudus, 2011.

27/11/11

Aku yang Lain

Kini kau akan sedikit lebih mengerti
lagu ombak siang malam yang mengibarkan rambutmu
sayap patah merpati yang tersangkut ranting kering
menjadi tak berarti
seperti ribuan kata kata dari buku sajakku
yang menggelembung bagai balon busa yang ditiupkan anak anak kecil
lalu pecah di kebun belakang.

Aku meloncat keluar dari jiwamu,
karena aku ingin lihat dirimu yang sesungguhnya
saat kau membersihkan halaman rumah dari daun daun yang lelah
aku telah mengembara ke tempat-tempat yang tak kau pahami
bertamu dan bertanya kepada rumput hijau, tapi tak jua ketemu kau di siitu?!

Semua ini kesiasiaan, sayang
jika kau hanya menakar keringat
menimbang beban yang semakin memberat
dan di tikungan jalan kau rubuh
menikam nikam diri dengan seribu penyesalan

Jangan, sayang
dengarlah pengembaraan ini….
matahari yang tegar menyeret cakrawala
dimanakah rasa lelah ia timbang
pucuk-pucuk angin yang setia memimpin musim
dimanakah rasa bosan ia tanggalkan
dan kini lihatlah dirimu
pohon tak pernah menghitung berapa puluh ia akan berbuah
bunga tak pernah menjerat diri untuk sebuah keindahan
dan engkau, kenapa menangis di tepi jalan
sementara kau tahu angin perubahan melintas
bagai arus deras sungai mampu menghanyutkan siapa saja

masuki dirimu saat matahari miring 175 derajat ke cakrawala
dan hanya bila dirimu adalah jiwa yang merdeka
yang riap dengan irama bendhe perjuangan
yang gemuruh dengan angin tegar yang mengasuh musim
yang lapang seperti langit
menyediakan matahari bangkit
dengan penuh kemuliaan
dari ufuk timur jiwamu.

Kudus, 2006.

Episode Pendakian

-satu-
dari Rahtawu, separuh Kudus mengapung bersama kabut
seperti juga sepasang matamu, selalu terlempar ke perbukitan
ranggas pohon jati dan randu, di balik semak ular mendesis
ladang ladang jagung dalam terasering yang mengering
ah, kelepak elang elok dan tenang memainkan arah pandang.

bunga rumput dan capung menantikan matahari tertidur
bahasa daun yang diterjemahkan ke dalam jari tanganmu
seperti menanti batu hitam copot dan nggloyor ke lembah
penasaran dan ketakutan tergambar di batang batang pohon
tiang listrik menjerit, setiap malam mengantarkan nyala
untuk menerangi apa, untuk menjelaskan pada siapa?
gerai akar akar pohon, telanjang di sepanjang jalan mendaki
keindahan yang terbungkus dalam diam dalam sembunyi.

dan kota berkerlipan bagai lautan mata insan kesepian
dan Menara Kota, mercusuar kota bagi penunggu jiwa
kapal kapal berlabuh dan melepaskan beban ke daratan.

Rahtawu, Oktober 2003.




-dua-
jalan sempit mendaki sedikit, lalu turun tajam ke sebuah kali kecil
gemericik terpancar dari sela sela bebatuan, anak tangga ke pancuran
membasuh tangan dan kaki, lalu kucuci mukaku yang lengket berdebu
sekeping hati kutaruh di atas jembatan, di bawah rindang pohon randu
dimana bertaburan kapas kapasnya menyentuh bumi seperti salju
seekor bunglon larut di tatapan, mendesis liar pada hati yang terbakar

‘kena kau!’ tapi batu hanya mengena batang randu
lalu terseok di rerumputan dan paku pakuan yang enggan berbunga
‘kena kau!’ dan kini pun batu melesat mengena hampa
lalu membentur batu batu yang lebih kekar, terus tenggelam ke dasar
‘kena kau!’ ia malah tertawa, batu yang kulempar kena kepalaku
dan seekor bunglon masih memaku, manatap lebih tajam pada mataku

saat pulang,
kusambar saja setangkai bunga rumput liar
meski bergetah pekat dan berduri sepanjang tangkai
setangkai bunga liar ini, ingin kutancapkan di jantungmu
biar engkau menjadi kuburan bagi seluruh cintaku.

Rahtawu, Oktober 2003.

Pantai Bandengan

pepohonan pandan menyeruak di sepanjang pantai
pepasangan belalang berkasihan di tangkai tangkai
angin dan pasir berkejaran di bawah terik matahari
deru mesin kapal nelayan seperti teriakan pada sepi
aspal jalan yang hanya diam, mencatat semuanya
siapa saja yang lewat dengan membawa keping jiwa
untuk dilarutkan di samudra
tidak kau lihatkah itu semua, kekasihku
kenapa kita masih juga senang ingkar
kenapa kita masih ragu atas percintaan kita.

Pantai Bandengan - Jepara, 2003.

Jogja

-satu-
Kangen. Melihat kotamu. Melihat lampu lampu jalan.
Melihat dirimu. Masihkah seperti yang kukenal dahulu.
Issana, tiga tahun tak sua. Kotamu tambah kumal bagai istal.
Jejak telapak kaki kuda menyusup, lalu hilang di tikungan.

Katamu, aku jangan kau tinggalkan. Kota lama temaram.
Ia kini bagai gua batu yang kaku. Tak ada kompromi.
Jangan aku kau tinggalkan, sekali lagi katamu.
Jogja telah kau curi. Kau sembunyikan dalam hatimu.
Kata katamu mengingatkan aku pada pertemuan itu.
Dimana aku bisa jujur, saat menangis saat tertawa.
Saat mengenang semua dosa direngkuh ampunan cinta.

Jogja, Oktober 2003.




-dua-
Melewatkan satu malam dalam gerimis. Kucari cari
apa sebetulnya yang membuat berat bagiku untuk pergi.
Sebait puisi telah kujual di malioboro, pena pun telah
aku gadaikan dalam pertemuan rahasia di belakang gereja.
Lalu apa yang aku banggakan ketika nanti kau bertanya,
dimana cinta sejati yang pernah kutitipkan padamu.
Bukankah sudah tak layak jika aku tetap bertahan disini,
meski deru kerinduan menyergap dari semua penjuru.

Jogja, Oktober 2003.






-tiga-
sudahi saja petualanganmu, malam berulang purnama
dan satu persatu apa yang kau punya bertanggalan
kecuali whiskey vodka telah berbotol botol jadi pena
itu pun masih bersuara, serak parau untuk jadi kau saja
Greg, Jogja yang kau puja telah bermetamorfosa
dalam setiap benak ningrat para pemerkosa
dalam paradigma pengemis dan pengamen
dalam kanvas para pelukis yang onani
dalam setiap jiwa penyair yang mabuk kenangan
Greg, apa lagi yang mesti kutunjukan padamu?
masa depan kita di tangan penjual balon di taman kota.

Jogja, Oktober 2003.

Kuburan

Badan dan segala yang melekatinya
akan melebur dalam debu kubur
ingin sehebat apakah daku manusia?
Jiwa menangislah
yang telah tercatat tak mungkin diralat
kecuali satu baris terakhir yang tercekat

Ampunilah aku si pendosa!!

Pesisir utara, 2003.

Romansa Seorang Buruh Pabrik Rokok

fajar terbuka menyisir rambutnya
lalu terdengar kleneng lonceng sepeda di luar jendela
menyeruaklah bau keringat lelaki muda
5 km telah ia berkayuh menyusur aspal yang tak rata
bau dari mulutnya saat berkata, “betapa cantiknya gadisku!”
dan mereka telah bertunangan di rumah beratap rumbia
dunia yang tertinggal di tepi ladang tebu menjelang senja.
tak pernah bertanya hari ini garapan berapa
tubuh yang sehat menumbuhkan pucuk daun untuk hari berikutnya
tunangan yang juga mandornya,
juga jarang tanya hari itu akan pulang pukul berapa
sudah ada yang mengatur, dan ia manusia yang tinggal menjalani

betapa sederhana hidup sebagai orang biasa
makan, tidur dan bercinta
kerja, tidur dan bercinta
selebihnya cuma kesibukan yang sepele
mesti bersepeda sebelum dan sesudah bercinta.
matahari bersinar setiap ia mulai kenakan topinya
menggiling batang demi batang kretek bagi kekasihnya
yang akan ia antar hingga pintu rumah keabadian.


ia punya banyak cerita
tapi ia melewatinya dengan sederhana saja
ia hanya punya satu tanda di setiap fajar tiba
ialah senyumnya
dan di kaca ia lihat kekasihnya dari balik jendela
berkeringat di atas sepeda, menantinya.

Pesisir Utara, 2004-2006.

Tepi Ladang Tebu

kehidupun bangkit dari tepi ladang tebu
cerobong yang mengasap ke langit bagai doa
tak putus sepanjang musim
tapi siang ini alat giling kami termangu saja
rantai dan gerigi karatan, mempertegas hari sekarat
pabrik gula yang tua di seberang jalan, muda kembali
ia telah beli tebu tebu dengan harga di atas kami.

sepanjang sungai belakang rumah kini mengalir limbah
airnya jadi hitam baunya menyentak mengusir kami
padahal sungai dan kami tak bisa diceraikan
kemana pun pergi, selalu sungai penanda nama kami
gemericiknya mengiringi setiap tetesan air tebu ke tungku
menyambung kehidupan kami hingga musim berikutnya
hari ini, asap lelayu mengapung di tepi ladang tebu
sebagaimana semua orang akan tahu, kami telah kalah
oleh pabrik itu, tapi kami tetap merasa berhasil melintasi
hidup, dengan cara dan daya kami sendiri.

Pesisir Utara, 2004.

Lari Perawan

teriaklah pada tebing
dan akar pohonan yang telanjang menjadi lelaki
menyelinaplah ke sana, dan ceritakanlah semua
hanya bulan sabit yang mampu mengawinimu
ranjang putih semenjak malam pertama
masih mengambar aroma kembang wijaya
ia tetap bagai lukisan mimpi, yang tak pernah
bisa dimasuki siapapun juga
sebelum mimpi membuka pintunya sendiri bagimu.

bulan sabit di balik tirai, tergantung gantung
bagai nyala merah lampion di pojokan cakrawala
termangu mangu membungkam diri
siang telah mempertemukan cinta palsu
di meja pelaminan yang (kebetulan) kau pilih ungu
tapi kembang wijaya telah mencatat dengan tinta
menjadikan putih seluruh ranjang di kamarmu
teriaklah pada tebing, cepat nyatakan cinta
pada siapa saja asal bukan dia
akar pohonan yang seketika lelaki
menyediakan kolong bagi sebuah pelarianmu.

Pesisir Utara, 2004.

Satu Januari

kau rebah di ranjangku, satu januari
angin menyeret gerimis dari utara

oh, jadilah malam alfa sekaligus omega
ini spora mulai rimbun di batok kepala!

Pesisir Utara, 2004.

Kepompong -2

angin masih sepoi,
matahari hangat di raut dedaunan
dan semua sudah berjalan menurut rencana
tapi masih bisakah kita menjamin kesuksesannya
kekupu yang tiba waktu, kini tak muram lagi
bunga dan berkas cahaya ia lepaskan dari mata
masuk ke dunia baru harus melalui mati sempurna
tapi adakah sesal, tatkala menelusuri jalan sepi itu
ia membusuk dalam kepompong
membusuk dalam kepompong
kemana ia? dan tak ada yang akan menanyakannya
mungkin kau pikir rohnya langsung melayang ke surga
atau mewujud dalam rupa semut 33 waktu berikutnya
menurutku ia hanya mati dengan sia sia
tanpa tahu siapa yang menyebabkan kematiannya
yang ia tahu cuma, melakoni apa yang harus ia lakoni
tersangkut di ranting pohon dan sunyi.

Pesisir Utara, 2004.

Terapung

mungkin aku bisa karam di kedalaman matamu
terus menerus didera, sinar itu bagai lecut cemeti
perih menggiring segala dayaku untuk bersimpuh
panorama yang kabur itu pun seakan terus merayu
hm….
kelelakian telah lunglai oleh geletar tarian gemulai
bunga setangkai yang digenggam pun tertinggal
di permukaan matamu
dan terapung

Pesisir Utara, 2004.

Kepompong -1

akulah sesuatu dalam sesuatu
kepompong yang selalu gagal menjadi sesuatu.
ia keburu membusuk di dalam rumahnya sendiri
sebelum benar-benar terbebas dari segala keterikatan itu.
kutunggangi kuda perasaan
yang kuciptakan di padang imajinasi.
hingga pada saatnya aku tersadar
ia melemparku dalam kubangan dengan segala kebusukan.
ingin kurangkai lagi mula kehidupan pagi dari hal sederhana
rindu bisa kulakukan hal-hal kecil
sebagaimana pernah bisa kulakukan itu pada saat lalu
aku rindu saat aku hanya mampu berdoa
dan waktu tak banyak bicara
hingga hidup tak rasa didera seperti ini.

Pesisir Utara, 2004-2006.

Perjalanan ke Selatan

perjalanan ke selatan.
melintasi hutan yang tak lagi perawan
angin mengombang ambing laju jalan
aku teringat bima
tangan yang mampu memenggal kepala,
tak mampu merenggut tunas rumput
inikah yang kucari?
menelisik sunyi layaknya pencuri.

Pesisir Utara, 2004.

Pagi Sesudah Badai

berhenti di ujung ngarai, dada terhampar hingga sebuah sungai
entah badai mana, kerikil berhamburan dan rumputan melesak
bagai jejak babi hutan menerobos malam dikejar pemburu liar

ngarai masih menyimpannya di balik batu batu,
rumputan lesu
saling menggamit-bergelayutan-meregang akar yang tertahan
sungai mengalir biasa seperti tak ada apapun yang telah terjadi
tapi kita terus menaruh curiga;
apakah pegangan telah menjadi pegangan?


Pesisir Utara, 2004-2006.

21.23 Wib

kau hanya burung hitam
kriminal paling sadis dalam bait bait mistis
remah remah bara kau semai
di atas ranjang pengantin kami
tapi lihatlah,
remah bara menjadi tunas mawar
tegar meski ranjang beranjak tua.

Kudus, 2005.

Randu Alas

Sudah rabunkah matahari pada kupu kupu, sayap patah,
tersekap di rimbun daun tak kau pedulikan
anggun dalam megah pucuk pucuk menjulang
batang tua gemuk membungkuk tumbuh dalam riap mayat mayat
kubur atas kejayaan dan megahmu kini
lingkar pagar tua pucat pasi
menakut nakuti setiap yang datang dengan hati.
Sudah rabunkan matahari pada akar akar menggelembung
meretakkan bangunan dinding dinding rumah
dimana kelak kami akan ziarah


Kudus, 2005.

Burung Hitam

Burung hitam adakah kau cuma bayang
bicara dalam gelap berkicau dalam temaram
jika kau nyata
ayo kita makan bersama dan bersulang anggur tua
biar kita bicara dalam terang.

Burung hitam adakah kau cuma bayang
tak peduli jinak atau liar sergap aku di bawah nyala lampu
aku kirim jua sepotong kue dan salam hangat

Burung hitam jubah malam tangan gelap
mata cekung mencorong dalam igauan
apa yang kau cari?
bukankah segaris nama baru perlu dirayakan
bersulanglah untuk sebuah pertarungan.


Kudus, 2005.

Perubahan Meta

Dinding kamar saat pertama kumasuki masih polos dan lugu
warna laut biru dan getaran ayat suci membalut ranjang
lalu senyum dari balik cermin membentuk ruang sejuk sunyi.
Meta, jarum jam merangkak tinggi
engkau belum juga terlihat membuka pintu.
Kemana saja engkau menenteng waktu?
Berdentam dalam kamarmu seperti kubah merapi menyimpan
gelegak lahar panas. Meta, bukankah kau menuju dewasa?
Di luar dunia penuh musik dan warna tapi jangan bawa masuk
mereka dalam kamarmu; ruang senyum sunyi – doa.
Diam diam aku ingin pergi saja
takut untuk bersua bibir dan senyummu telah berbeda.


Kudus, 2005.

Sayap Malaikat

Engkau mengangkatku dalam kepak sayap malaikat
serupa bayi; tubuh lilin-tubuh telanjang
dan terlukis ilalang di tepian pori pori kulitku.

Hangat dalam peluk lambungmu yang halus
mulutku garing memerih dikibas angin kering
engkau terus mengangkatku di sunyi paling tinggi.

Kekasih, sayap malaikat di bola matamu
mengapungkan luka luka
Ssst, janganlah ucapkan sudah!!


Kudus, 2005.

Laron Pecundang

Langit yang cerah lalu hujan tiba tiba
juga tanah membuka dadanya yang bidang
menerbitkan laron laron berkeriapan sayapnya
mencari cahaya menuju cahaya
hanya saja mengapa kau masih duduk di sini
mengurai beban rumah
menerbitkan laron laron pecundang dari matamu
untuk minta diri dibakar sunyi.

Aku lebih pecundang
mendekap pipimu dalam lukaku
aku lebih pengecut
meraih tanganmu dalam lumpurku.

Kesedihan melahirkan duka
kekejaman menerbitkan derita
dan esok hari kita mengabarkan kepada dunia
sudahlah, kita jalani saja!


Kudus, 2005.

26/11/11

Lelaki Sunyi

Untuk Fariz Hudaya, dan Ayah lainnya

Tak ada rasa letih pada wajahmu
meski kau tahu bakal mati jua di sini
setelah merenangi sungai
riam riam terjal itu
bahkan sepucuk cita cita
yang terhempas entah dimana
pada dahi anakmu yang sakit
masih sempat kau tulis doa
masih senyum pula untuk seluruh hari
yang segera menua.

Hidup seringkali hanya soal sederhana
cakrawala seringkali terbaca tak sengaja
lalu aku kembali berhenti
betapa aku tak sekuat engkau
meladeni kenyataan
tak serajin engkau menganyam
sebatang demi sebatang ranting hambar
menjadi karya kehidupan yang bermakna.


Kudus, 2005.

Pembicaraan dari Pecahan Botol

Antara tersesat atau menyesat diri
menyadari mulutku mengendus kloset
lidahmu menjilati punggungku bagai induk kambing
sembari membisikkan desah lirik lagu dangdut
sesobek kertas koran masih menulis Aceh
demonstrasi kenaikan harga BBM
kau, bahkan kemanusiaan yang tercabik itu
asyik dan acuh saja
behamu yang kendur–gincumu lumer–dirimu direndahkan
aku memagut bahumu agar kau mau berhenti menjilat
lebih lelah untuk tidak mengajakmu bicara soal apa saja
kecuali diri kita, ya kecuali yang satu itu!
kami mengurainya dengan pecahan botol di sudut kamar
tapi aku juga masih belum tahu
apakah aku telah benar benar tersesat?


Kudus, 2005.

Waru Jelaga

Kurasa jelaga telah menepi ke batas kota
menggantikan daun daun waru lunglai
ditarik ulur antara dogma dan nafsu
rekreasi di lingkaran aroma bau kencing penjagal
atau malah ideologi patriarkhis dan feminis
telah membuang mereka dalam keranjang sampah
di pasar pasar hewan.
Di bawah waru jelaga
mereka membicarakan kerlap merkuri
kerlip dian penjaja bakwan-tahu-pisang goreng.
Di atas pertigaan
mereka ditertawakan papan iklan benderang
kurasa inilah keakraban yang memilukan
sebuah pesta di tengah kota mati.
Terpinggir. Dan akrab.
Air kencing-kotoran binatang-sayur membusuk
mereka menghuni dunia yang sisa itu sebagai kewajaran
yang terselip hingar kota yang semakin tak tahu diri.


Kudus, 2005.

Ronce Simpul

Lalu setiap simpul
akan menyambung pada simpul berikutnya
seperti rumah rumahan kardus mainan anakku;
kokoh saat tali temali bertemu dan memisah.
kita rayakan akumulasi peristiwa demi peristiwa
hingga sebagai rumah kita terjerat tempat ini.
dan nanti jika matahari mulai lelah
dengan tubuhnya yang mulai lumer dan tua
tangan tak cekatan lagi
membuat simpul simpul peristiwa indah
sebagaimana hari ini
aku akan berlagak sebagai penyair
yang kemana pun pergi membawa buku alamat
atau seperti gadis yang tak pernah lupa
menyelipkan cermin kecil di dalam dompetnya
atau paling tidak aku tak akan pernah melupakan
sehelai rambutmu
terbakar matahari di ngarai usiaku.


Kudus, 2005.

Sriti

Kini kau akan sedikit lebih mengerti
lagu ombak siang malam mengibarkan rambutmu
sayap patah menjadi tak berarti
seperti ribuan kata kata dari buku sajak yang menggelembung
bagai balon balon yang ditiupkan anak anak kecil
di kebun belakang
biarlah engkau hadir dan mengertilah maknanya bagiku.
Lincah yang kau kepakkan
tetap menyimpan sunyi aku tak peduli
begitulah aku memanggilmu. Laut menyimpan badai
lalu angin bersarang di semak pantai
dan kau tetap menyimpan rahasiamu di tiap kepak sayap
aku sendiri pun sangat ingin memahami.


Kudus, 2005.

Senja Mata

Dia menaruh lekak lekuk tubuhnya
di atas pangkuanku yang ilalang
aku pun bilang padanya langit masih tinggi
dan kemarau hari ini pasti segera berganti.
Dan kau sok penyair romantis, sahutnya.
Lalu pada lengkung pelangi
aku menyeberangi sunyi kata
melalui geletar sayap sayap capung.
Senja mata melukis tubuh rimbunan bunga
mungkinkah aku telah keliru menangkap getaran itu?
Kau yang terkapar dibantai matahari,
juga aku nanar di ujung matamu
tak ada yang bisa membangunkan
kecuali khayalan yang meluber dari batas gelas.


Kudus, 2005.

Malam Sehelai Sayap

Dan malam beringsut membawa sehelai sayap terlepas
aku teringat kemarin kita menangis di tepi ranjang
melukis kegetiran hidup di kayu kayunya
lalu pada celana dalam yang terserak sebuah lagu melayang
dan menjadi puisi masa lalu,
mengapa kita tak pernah berhenti meratap?
Malam ini sehelai, besok sehelai lalu lusa dan esok lusa
tak ada satu kesempatan bagi kita mencaci dunia
setelah peristiwa terpatah bagai helai helai sayap
kita tak pernah tahu dimana akan dijatuhkan
meski telah belajar dan diajar bertahan
angin santer dan reranting berduri
tajam meluluhlantakkan hingga tak berdaya.


Kudus, 2005.

Ini Sorga Bagi Kita

Masih kuingat jalan mendaki itu, naik menuju puncak,
meniti ungu coklat kehidupan di puncak Muria; jiwaku
terhempas seperti serat kapuk randu yang terlepas, lalu aku
pun terbuai gelak daun tawa pohonan nyanyi rumput
menjemput sapi sapi di atas kepala petani, riang anak anak
kecil berlarian menggaris pematang. Begitulah aku
menziarahi hari lalu. Biru dan tenang seperti alur sungai
merayu batu batu, lalu gema dzikir melambung dari rumah
rumah santri mengumpulkan jiwa jiwa dalam satu bumi,
adzan meluncur dari kubah kubah masjid mengumpulkan
jiwa jiwa dalam satu langit, lalu sayup shalawat merayap
dari mulut ribuan peziarah yang tiada henti melawat
masa lalu untuk berbenah hari ini.

Kawan, betapa aku sungguh tak ingin segera bergegas
apalagi meninggalkan kehijauan ini dalam hiruk pikuk kota.
Ini sorga, dimana jiwaku terpuaskan oleh sebuah pesona.
Apa yang akan kukenang jika Kudus pun melindap dari
kenangan dan tersumbat di aorta generasi bisu? Ini sorga
dimana jiwa jiwa terpuaskan oleh sebuah pesona.

Kudus, 2005.

Mutilasi

dia pun rebah dengan memar dan darah di sekujur tubuhnya
yang tercerai berai, tiang pancang bagi perahu tua
mereka pun mengenalnya, bau keringat sapi perah dan
tangan yang selalu basah

3 tahun aku mencangkulinya, ia diam saja, sakit adalah
imunisasi, lalu pada 1 minggu terakhir aku ikat
tangannya dan kujerat lehernya dengan 11 lilitan
kabel telepon

istrinya dan 1 anaknya keluar dari pelupuk matanya; dalam
gelembung biru dongker, aku merebahkannya dengan 2
tikaman sangkur tepat di dada kirinya karena sungguh
aku semata mata ingin menyelamatkannya

aku tak suka ia melihat waktu, meraba arah angin apalagi deru
mesin pabrik yang berisik, yang katanya lebih
memanggil manggil, dan ia seperti anak ayam yang selalu
dipatuki lelaki kekar yang telah membeli jiwanya.

Kudus, 2005.

Tuhanmu Hari Ini

terbaring tengkurap berlari merayap terusterang bersijingkat kamu tetap
bernama buruh, Marni, di atas meja makan di kamar tidur di plasa atau di WC
kamu tetap saja bernama buruh

seluruh harimu telah terbeli dengan perhitungan perhitungan yang tak bisa kau
pahami, karena kau di sini adalah keputusan kau masih di sini adalah rasa suka
majikan dan kau akan tersenyum menangis tertawa menjerit seturut inginku
karena maumu telah menjadi mauku

berteriak diam memberontak memihak sama sekali soal lain dengan
keputusanku, sama sekali bukanlah hal yang bisa bikin gentar tenggorokan,
kau adalah satu dari milyaran pasir pantai, Marni, karenanya aku berhak
menjadi tuhanmu dalam hidupmu hari ini.


Kudus, 2005.

Alienasi Burung Kecil

sesudah akad nikah
lalu dipapah tubuh mempelainya
untuk diikat di ranjangnya
ia bahkan tak lagi memiliki dirinya
ia tak lagi bernama aku
seperti dulu pernah aku mengenalnya.

ia disuapi pisang dan pepaya
untuk kicaunya yang mahal harganya.
tapi ia hanya seekor burung kecil
bahkan tak lebih besar dari seekor burung kecil
tak seperti dulu ia berani sebagai pemberontak;
jiwa yang paling ia suka.


Kudus, 2005.

4 Km Sepi

4 km sepi
pohonan saling bercumbu
mereka tak ingin dunia
mereka hanya sepi dan bercinta
tapi dunia tak inginkan mereka
hidup terlalu lama
4 km sepi
pohonan dan aku
saling menatap penuh curiga.


Kudus, 2005.

Pram, Selamat Jalan

pramoedya ananta toer


tanah keras padas, jauh kelebat pelangi
telah tumbuhkan satu pohon Jati
keras padas mengawal perjuangan abadi
kutundukkan kepala, Tuhan telah memanggilnya
dari Blora ke Batavia
dari Buru hingga Jakarta
sunyi di nyanyi bisu bumi manusia
mengakar dalam jiwa anak bangsa
sepasang mata yang menatap-memberi cinta.



Kudus, 29 April 2006.

Jiwa Merdeka

Ada saat kita terjatuh
Ada saat kita mesti berpeluh
Mari kita rajut setiap jengkal kegagalan
Lalu kita akan akrabi dunia
Dengan sepenuh syukur penuh anugrah.

Ada saat kita menangis
Ada saat pula angan mengeluh
Tapi matahari kesadaran
Akan jadikan semuanya terlihat nyata
Bahwa kita semua adalah saudara.

Menyatulah di sini dalam kehangatan
Sesungguhnya tiada seorang pun yang ingin sendiri
Bernyanyilah di atas tanah yang kita cinta
Dan betapa indah kita bisa berbagi rasa.


Kudus, Januari – Juni 2006

Tuhan, Inilah Komitmen Kami

Didedikasikan untuk para korban bencana gempa tektonik di Jogja – Jateng
pada 27 Mei 2006, pkl 05.55”, dan anak anak negeri ini.




Tuhan
Inilah komitment kami:
Betapapun derita dan bencana menggetarkan sendi sendi hidup kami
Betapapun pahit getir hari hari yang harus kami reguk
Sakit dan luka yang berulangkali memenuhi sekujur tubuh kami,
takkan mematikan jiwa kami untuk saling berpeluk
takkan melumpuhkan tekad kami untuk saling berbagi.
Karena mereka semua saudara kami
Karena kami semua selalu bersaudara.

Maka lapangkanlah jalan pengampunan-Mu,
untuk bangsa ini yang telah banyak berdosa, Tuhan.
Maka anugrahkanlah ridho-Mu untuk anak anak bangsa, Tuhan,
yang telah dengan tulus ikhlas memperjuangkan hidup kami semua.
Lihatlah kemegahan yang kami punya, Tuhan
Kami membalut seluruh jiwa raga dengan cinta.

Tuhan
Inilah komitmen kami
Tak ingin kami menari saat saudara kami menangis
Tak ingin kami bernyanyi saat saudara kami menjerit
Kami tak ingin luka itu semakin menganga
Karena mereka adalah saudara kami, Tuhan
Apa yang mereka rasa, terasa pula di jiwa kami.

Anak anak bangsa kini tengah berduka dan terluka
Apa yang bisa kami berikan; kami relakan
Apa yang bisa kami sumbangkan; kami ikhlaskan
Doa kami sepanjang malam; kembalilah mereka tersenyum dan bahagia.
Kami pasti malu jika kami hanya diam bisu
Tangan ini pasti bergetar, tergerak untuk membantumu.

Tuhan
Inilah komitmen kami:
Sehidup semati kami bersaudara
Lepaskanlah derita dan duka ini segera.


Kudus, 02 Januari 2006
(dibacakan oleh Letkol. Inf. Priyo Djatmiko, Komandan Kodim 0722
Makutarama, Kudus pada acara “Pentas Amal Musik Remaja Peduli
Jateng – DIY” di Lapangan Tenis Kodim Kudus, pada 04 Juni 2006.)

Kemana Lagi Kami Berlari Selain Pada-Mu

Didedikasikan untuk para korban bencana gempa tektonik di Jogja – Jateng
pada 27 Mei 2006, pkl 05.55”, dan anak anak negeri ini.


Angin gunung yang biasanya lembut,
mengabarkan deru lava pijar dari Merapi,
awan panas dan solfatara mengancam kami.
Berlarian kami, terbirit birit bagai kawanan kambing dikejar srigala,
mencari perlindungan, mencari tempat aman untuk sembunyi.

Dan saat sampai di sini, di barak barak pengungsian,
kami belum juga bisa tenang.
Sambil mengatur nafas yang tersengal,
berdebar jantung kami menghitung berapa saudara kami yang terkapar.

Kami kini seperti prajurit perang yang jiwanya dikejar kejar kerinduan,
dikejar kejar pikiran ketakpastian akan kampung halaman.
Mungkin pohon pohon pinus telah menjadi abu.
Mungkin sungai kami telah menjadi sungai batu.
Tapi mungkin juga akar jiwa kami yang telah lama tumbuh di sana,
masih mampu menumbuhkan tunas baru bagi kehidupan.

Nyatanya bukan itu kenyataan yang ada.
Di kedalaman 33 kilometer dari permukaan laut,
tepat di belakang rumah kami saat kami menyiapkan sarapan pagi,
gempa tektonik menggetarkan sepanjang pantai selatan jawa.
Dan nyali kami kembali berhamburan berantakan, berserakan di
antara jerit tangis, luka luka di kepala dan saudara kami yang tak lagi bernyawa.
Lima koma sembilan scala Richter dalam lima puluh tujuh detik,
waktu yang teramat singkat
untuk membenamkan lebih dari 6.234 nyawa saudara kami ke perut bumi.

Berlarian kami, terbirit birit bagai kawanan kambing dikejar srigala,
mencari perlindungan, mencari tempat aman untuk sembunyi.
Tiba tiba kami teringat Aceh, Nias, Lampung Selatan….
Kami teringat ratusan ribu saudara kami yang terenggut tsunami.
Kemana lagi kami akan berlari? Meniti lereng Merapi,
dimana lava pijar, awan panas dan solfatara
juga tengah mengintai kami?!
Angin pantai yang biasanya penuh semangat menderu,
mengapa jadi lesu seolah enggan menyapa?
Tegakah engkau mengabarkan amis darah,
bau mayat yang sore nanti mulai membusuk,
dan rasa lapar yang mulai tak mau berkompromi?
Kini kami seperti kawanan kambing yang tak bisa lagi berlari.
Srigala di seberang jalan, giginya bergemeretakan
menatap jalang pada kami.



Kemana lagi kami akan berlari?
Oo, semua arah seolah menyimpan rencana jahat bagi kami.
Kemana lagi kami akan berlari?
Oooo, dan tidak akan kemana jua lari kami
Selain hanya pada-Mu, Tuhan.
Hanya Engkau Yang Maha Besar di antara semuanya.
Ampunilah kami, ampunilah kami….
Ampunilah kami semuanya.
Amin.


Kudus, 02 Juni 2006
(dibacakan oleh Letkol. Inf. Priyo Djatmiko, Komandan Kodim 0722
Makutarama, Kudus pada acara “Pentas Amal Musik Remaja Peduli
Jateng – DIY” di Lapangan Tenis Kodim Kudus, pada 04 Juni 2006.)

Relawan 5,9 Skala Richter

kami temui wajah wajah bergurat duka
sebab kehilangan saudara tercinta
di antara puing puing rumah mereka
tenda tenda darurat memelihara harapan
kami temui jiwa jiwa nyaris roboh pula
seperti daun kering dibawa kemana laju angin
dengan sorot mata yang memandang kosong
duka ini memang sangatlah berat disangga
bahkan tak terdengar sapa kleneng andong
yang biasanya merayap di antara gelak tawa
membelah ruas ruas jalan imogiri
yang mengantar peziarah ke makam raja raja

gedung gedung sekolah, masjid masjid dan gereja gereja
tak mungkin bisa dipakai lagi
temboknya hancur, berdiri miring, atapnya ambrol
namun siswa siswa mesti harus terus belajar
adzan harus pasti berkumandang
nyanyian misa dan kebaktian harus pasti didengungkan
rasa syukur dan pasrah akan kehabesaran Tuhan
tak boleh lumpuh atau mati di antara puing berserakan
meski menelusup dari bawah tenda apa adanya
meski beralas tanah dan rumput kering berdebu,
ini saatnya untuk kita mengakui
betapa kita sungguh tiada berdaya adanya

kami hadir bukan sebagai turis domestik yang eksotik
bukan sebagai peziarah yang ingin tampil simpatik
kami hadir sebagai rekan dan saudara
yang ingin membantu apa yang kami bisa,
menyapa dengan hati agar bisa tersenyum kembali
karena luka akibat gempa itu bukan terasa di tubuh saja
tetapi juga tembus ke relung relung hati
dan kami ingin jadi sederhana saja
ialah pemantik api semangat hidup
yang tak boleh meredup.


Jogja, Juni 2006

Rumah Indonesia

Indonesia 61 Tahun

sebelum kita pergi keluar
baiklah kita lihat dulu rumah kita
adakah kita lipa padamkan tungku ?
agar rumah tak terbakar saat kita di luar
sudahkah kita tutup jendela dan pintu pintu?
agar rumah yang kita cinta
terjaga dari pencuri yang bernafsu
lalu marilah kita keluar
mengucapkan ‘selamat pagi’ kepada embun
yang tersangkut di atas rerumputan
lalu memasrahkan rumah kepada yang tinggal

Indonesia adalah rumah kita
rumah yang kita cinta
meski di almari ada bluejeans Amerika
meski gantungan kuncinya bertuliskan ‘made in Korea
meski sajadah di mushola bikinan Turki
yang kita beli saat naik haji di Tanah Suci
dia tetap rumah kita Indonesia
yang reot dan megahnya terbuat dari jiwa kita

sebelum kita keluar
menyapa orang lain atau bahkan memakinya
karena hamper nyerempet kita di jalan
sudah bersihkah rumah jiwa
dari kebodohan menatap masa depan
dari kedunguan melihat penderitaan kawan
dari keserakahan harta benda

hingga kita terhenti di sini
dimana rumah kita tengah berduka
dihajar gempa
dilarung tsunami
disunat koruptor koruptor
dan kita saksikan manusia saling memangsa
homo homini lupus!!

ya Allah ya Robbi
bersihkan rumah kami

sebelum kita pergi dan menatap keluar
ada baiknya kita bersihkan rumah kita sendiri dulu
dengan kesabaran dan mata air cinta.


2006.

Kemenangan Sempurna

matahari pelan mendengkur, bersiap bangkit
kemenangan dan kemenangan kemarin
belumlah kemenangan yang sempurna

angin masih basah karena airmata
masih menggelayut, merajuk di ketiak daun
“kita sudahi saja kesedihan ini,” bisik sebatang ranting
seolah tak ingin larut dan terperosok di palung hening
lagi ia berbisik, “enyahlah airmata!”
kata ranting lainnya, “sebelum datang kekalahan berikutnya!”
dan sunyi membungkus perbincangan
semua tahu kekalahan tadi siang teramat menyakitkan

tak kan ada yang kita sisakan sedikit pun
semua kita tanggalkan bersamaan detik yang mengerjap
bahkan keindahan yang baru saja tercipta
bahkan kebaikan yang baru saja kita terima
bahkan prestasi yang baru saja kita raih
lepas saja
sebagaimana daun tanggal dari ranting
seperti saat menghirup udara dan menghembuskannya
menerima dan kehilangan sebagai kewajaran biasa
lalu langit merengkuh mereka
sebab tak lagi terdengar suara
seperti degup jantung yang tak terdengar degupnya
tapi kita meyakininya ada

“itu mendung!” teriak kuncup bunga
mendung terakhir di hari yang beranjak tua
dan setelah petir, langit berkata;
“kemarin hari ini dan esok aku pun masih sama.
yang tua yang tetap saja mau merengkuh kalian semua.
tapi kalian? sadarkah kalian saat tumbuh dan berangsur dewasa?”

semuanya menggeleng
“ada yang tetap, seperti aku seperti cinta seperti keabadian.
ada yang berubah, seperti kalian seperti raga seperti hati dan pikiran.
menjadi lebih baik di hari depan
adalah kemenangan yang sempurna.”

setelah itu langit kelabu oleh hujan.


2005.

Doa Kampung Halaman

ranting patah
ranting kering
daun yang menguning
air bergemericik
tanah tanah terbelah
berdebu
menyampaikan proklamasi virus
proklamasi virus
di padang kuruksetra
di medan peperangan
di ladang pembantaian
mereka telah pancang bendera
perang akal sehat dan logika
perang cuaca di musim kemarau
perang batin di tengah budaya galau
perang nurani di hidup yang gamang

kita telah banyak kehilangan
telah banyak kehilangan
telah lama kehilangan
telah jauh kehilangan
hingga kita musti merayap, merangkak, melata
hingga kita bersimpuh di atas genangan airmata
hanya untuk sebuah nilai cinta
untuk sebuah cita cita
untuk sebuah harmoni hidup
engkau – aku – kita – semua
tumbuh di lahan persemaian yang semestinya

pulang
pulanglah
ranting patah
kembali
kembalilah
ranting kering
ke sini
ke kampung halaman kita sendiri
berkumpul dan bersendau gurau kembali
dengan barongan yang gairah
dengan saron yang nyaring
dengan tangan penari yang gemulai
dengan ekspresi teater dan sastra yang murni
dengan lirikan kekasih yang aduhai
tanpa rekayasa
tanpa keinginan dan pamrih dipuja
mengalir dan mengairi sawah kehidupan
menghijau dengan bulir bernas-berisi
menghampar di belakang rumah kita
adalah masa depan kebudayaan yang sesungguhnya.

Amin.


Gelar Budaya Kudus, 25 Agustus 2006.

Dua Baris

baru dua baris, Innocen
karena engkau puisi
yang selalu gagal aku tulis


2006.

Deru Patah

deru angin
deru kipas angin
patah patah
aku dan istriku
mengembara
ke langit hitam
dan bintang
diam
tak berkedip


2002.

Malaikat Kecil

ada percakapan di segelas kopi
kau terbangun tapi untuk tidur lagi
malaikat kecil di bola matamu
sempat ayunkan pedang
ke arahku

pada pejam matamu
kucium kening yang buram
sebagai peta rahasia


2002.

Puisi Kecil

Onnasan


ambil dayung, Nak
ayo kita melaut
biar kau kenal segala takut.


13 Februari 2002.

Gemuruh Laut

Pro: T. Budi Santoso


laguku
mendesis di sela pucuk pucuk gerimis
kala tubuh terhempas
membuih dan pecah di pantai
habislah aku di sini; membangkai

lalu lagumu
menjamahku selembut lidah gelombang
dan kudengar gemuruh lautmu di kejauhan
memanggil memanggil
merengkuhku ke dalam pelukan

laut dan gemuruh
sepasang kekasih yang selalu bercinta
begitu pun hidup dan kerja
seperti melodiusmu saat itu


2002.

Intimidasi Ruang Sunyi

belajar untuk jauh, nyatanya justru terasa didekatkan
“you can run, but you can’t hide!” katamu bernyanyi
sembari onani, dan jutaan sperma merayapi dinding
sembari bersorak sorai, “kita telah dibebaskan!
kita telah bebas dari konthol!”
lalu dibiarkannya mereka tumbuh sebagai yang kehilangan

nyatanya memang tak bisa disembunyikan,
membiarkannya lepas justru menarik kita
untuk balik bergegas menghampiri.
kurang telanjang apa?
sekujur keindahan ini bakal lenyap
tak ada yang abadi selain kenangan

memburu sepanjang lorong dan meleleh seluas ruang ruang
dimana sunyi tiba tiba jadi bunyi
obrolan yang tersaji di etalase toko dan trotoar
karena seluas luas pandang kita hanya bersua
tangan tangan gemetar mendendam kemiskinan
dan sunyi, “cuh!” meludah ke mukaku.


2002.

Metamorfosa

kembali ke bilik sunyi
hingga desahnya menyentuh alis mata
menggetarkan gelap menjadi cahaya,

sepasang biji mata
tak lagi buta.


2002.

Swara di Suralaya

dan menggelayut swara tetabuhan
menggiring perginya sang jendral
yang pernah menodongkan tongkatnya
ke hidung pribumi yang tak seiya,

entah slendro, entah pelog
tangis dikabarkan dari puncak giri
entah slendro, entah pelog
klothekan bocah bocah pangon

bertemu swara di suralaya
menghentikan lawatan sang jendral
menuju muara
di situ ia masih sempat terpana
hidup sungguh begitu nikmatnya
kalau saja ada kesempatan kedua
akan dirampungkannya segala
atau dirampoknya segala
sampai kita menyerahkan cinta.


Kudus, Januari 2008.

Rumah yang Kubangun

rumah yang kubangun
dari cinta cinta yang tumbuh
yang kuberi ruang
dan kurawat di setiap saat
memang bukan dari kaca
atau marmer istimewa
kadang solfatara
mengapung di atas asbak
dan menyela perbincangan
temboknya berlumut
lumut yang bisa bicara
coretan dinding
yang berbisik dalam gelap
lalu pot pot yang seakan diam
menjaring informasi gerimis
gelas dan dentingnya
melempar fenomena
di tengah kepongahan

lalu aku hanya membiarkan
semuanya menjulur ke langit
menjalar ke tanah tanah basah
atau menjala semua ikan ikan
yang terbawa angin senja
di situlah kami tumbuh
hingga tak mengenal mati.


Kudus, Januari 2008.

Daun Telinga yang Perawan

ingin aku membisikkan kata
di ujung daun telingamu yang perawan
hitamnya masa depan
susahnya membebaskan diri dari ketakmampuan
aku berharap banyak darimu
matahari yang menguak gelap kehidupan
dan hanya suara belalang
tersisa hingga engkau anggukan kepala


barangkali aku ayah yang ceroboh
membagi cerita pahit kepadamu
dan mengandaikan keindahan
mesti direbut dengan tangan keras
padahal mestinya aku tersenyum
demi telingamu yang perawan
dan anggukan kepalamu
yang sesungguhnya mengiris hatiku

aku membisikkan kata yang lain
yang terakhir kali
di ujung daun telingamu yang masih perawan
tentang kekuatan cinta yang harus dipercaya
tentang matahari yang menerbitkan keberanian.


Kudus, Januari 2008.

Nol

sudah aku serahkan semuanya padamu
kacamata, topi, hanger, baju, sarung
termasuk nasib baik yang mestinya aku terima
hari ini kau meminta lagi
apapun yang masih aku miliki
padahal kau tahu aku tak punya apa apa lagi
mestinya kau tahu jika kau terus memaksaku
akhirnya aku berani melawanmu


Kudus, Oktober 2008.

Dunia Lacur

pernah, dan mungkin masih
di rembang petang kerlap kerlip lampu disko
diiringi irama dangdut dari tape recorder jangkrikan
bagai berpasang pasang mata
memanggil manggil, “hai asa, mampir dong! kita ngobrol
bersama sebotol oplosan bir dan congyang
kacang dan tahu susur milikku
ketrampilan kecil hasil warisan ibuku.
ibuku mewarisinya dari ibunya.
jangan remehkan nenekku
ia selir seorang mantan bupati pesisir.”

begitulah aku terjerat
entah karena ia seorang perempuan
yang punya bibir merah dan bersusu montok
atau karena ia cucu seorang selir
tapi nyatanya aku kini tertawan
apalagi siang yang aku maki maki
telah membakar tubuhku
menyayat nyayat kulitku hingga berdarah
bernanah
bau amis kenyataan hidupku
tak bisa kututupi meski dengan cendana
atau kasturi
meski pula dengan tata bahasa sekelas puisi
karena bahasaku telah kacau
hingga aku hanya mengenal engkau, lacur
sebagai puisi terindah yang pernah kubaca.


“hai asa, mampir dong!
kita lanjutkan minum berdua!”
dan aku menatap matanya
betapa mengejutkan
semalam kulihat bercahaya
kini kulihat redup berjelaga
semalam engkau begitu muda
kini kulihat engkau begitu renta

aku pun mampir
dan mabuk
ide ide di batok kepala
meluber dan ndledek
membasahi celana
ah, betapa dunia begitu indah
begitu sederhana
aku pun tersampir di atas tubuhmu
dan menyerahkan ide ide besarku
ke dalam sebuah sumur yang gelap.

ketika aku menjamahmu
engkau seolah bernama cinta
kini saat aku berjarak denganmu
engkau seolah tak bernama apa apa
dan entah, aku seperti tersadar
ada yang telah hilang dari diriku
entahlah….


Kudus, 2006.

Tapal Batas

jika jalan
patah sudah
kemana kaki
jika malam
pecah sudah
kemana hari
jika angan
tumbuh kembali
kemana angin
jika cinta
pulang kembali
kemana hati
jika engkau
tanyakan aku
dimana dirimu
jika engkau
tanyakan engkau
disitulah dirimu
tak pergi
tak pulang
di sini
membaca bintang
mencatat sungai
kita akan menuai
di ladang sajak


Kudus, Januari 2007.

Negeri Tragi-Komedi - 2

aku pasti menulis sajak dan akan terus bersajak
meski pohon pohon hilang roh air hilang muara
batu batu mendesak ruang dan jiwa nglambrang tak berarah,
aku pasti pistol yang telah meledakkan kepalamu
sesaat kau hendak bangkit dari kursi kuasamu…
di belakang kita telah ada yang pengintai,
lalu merekam apa yang telah kita lakukan
untuk dijelmakan bom
saat logika tak bisa menjelaskan
kenapa kita telah begitu kecewa dengan kesewenangan ini
wajarkanlah kemarahan kami seperti debur lumpur yang menggelora,
dan tak perlu hati bicara jika hidup saja sudah dibunuh
layaknya sapi di pejagalan,
terlunta lunta sudah perjalanan ini
hingga tak sempat lagi kami punya birahi terhadap apapun.
keempat anak anak kuhadapkan tuhan
karena dialah yang mestinya bertanggungjawab,
karena pohon pohon yang hilang roh air hilang muara
dan batu batu mendesak ruang hingga tersampir di bibir pembaringan,
seperti ketekunan para pendoa yang tak pernah terkabul doanya
dan aku akan terus menulis sajak sajak dalam sunyiku


Kudus, Maret 2007.

Negeri Tragi-Komedi - 1

langitku retak
bumiku lebam
lalu laut berderak
dan gunung berdentam
seperti pisau puisi
bahkan lebih ngeri
siapapun membaca
siapapun merasa
dari kolam sajak di koran pagi
meloncatlah ia ke kehidupan
karena hati tak lagi mau dengar
karena jiwa tak ada lagi ruang
ia terentaskan
tapi jiwanya mati
tak terselamatkan


Kudus, Maret 2007.

Tak Ada Janji

Bunga tak pernah memberi janji
kepada siapapun karena indahnya
Embun juga tak pernah berpesan
karena suatu saat akan kembali

Itulah mengapa aku diam saja
ketika mendengar seribu harapan
Itulah mengapa pelangi
kau saksikan sesuai hujan.


Kudus, 080311

Pagi Ini

Dan hingga pagi ini aku masih percaya
seperti kepercayaan embun pada matahari
tetap menanti penuh harap
bahwa perubahan akan terjadi,
dari ketakberdayaan menjadi berdaya
dari kemungkinan yang paling tak mungkin
menjadi sebuah keniscayaan.

Kudus, 070311

Kekasih yang Kubenci

desah nafasmu
terasa hingga dalam dada

kenapa kau datang
mimpi yang tak pernah kuinginkan

bersamamu seperti itu, kau sembuhkan aku
tapi saat seperti ini, kau melukai kembali

ketika kau benar benar menghilang
meninggalkan jejak yang tak ingin kukenang

Kudus, 2011

Aku tak Pulang, Ma!

"Ma, gak usah percaya!
Semua itu cuma bohong-bohongan, Ma!
Mama tak perlu lagi berdoa.
Mama tak usah lagi berharap.
Sudah tak ada gunanya lagi, Ma!
Begitulah mereka meninabobokan mimpi.
Begitulah mereka membunuh mimpi.
Begitulah mereka!

Ma, kalau nanti matahari tak pulang
Kalau nanti ilalang subur di kebun belakang
Sudah pantaslah jika aku jadi bungkam
Karena matatelingaku diremukredam
Jeritan kita membentur tembok muram!
Sudahlah, Ma!

Ma, kau tak bisa mengerti
Kenapa begitu sumpek ruang yang luas ini
Kenapa begitu sulit kesempatan yang mudah ini
Tapi aku yakin kau bisa merasa
Ada yang dimenangkan demi kesombongan kuasa
Ada yang dijuarakan demi membungkam sang juara.
Benar kan, Ma?!”


Kudus, Juni 2011.

Talas

urat nadi di pelupuk mataku menggetar
setiap kamu muncul dari rimbunan pikiran
menetes seperti embun jatuh airmataku
karena kau daun talas di atas kolam
berbukabuka dalam siangpetang
membasahi raga dahaga dan jiwa kerontang
dirimu jadi tumpahan kisah airmata.

Kudus, Juni 2011.

Kuterima

kuterima semua
yang kau beri sebagai cahaya
rindu ini tunas harapan pada cakrawala
berakar dan berpijar di hati
hingga dirimu mengerti

kulepaskan keakuanku
masuklah ke dalam ruang jiwaku
kuterima dirimu menjadi bagian diriku.

Kudus, Juni 2011.

Sudut Malam Bisu

sudah kita tenggak beberapa lagu
sejak lepas maghrib hingga kini jarum jam tumpuk
tak jua pergi gelisah meradang
kertas dan cipratan air kopi melukis sunyi
lalu segera saja terbakar
menjelaga di pelupuk tawa.

sudah kita benam dalamdalam keresahan
tapi bagai asap menelusup celah pori
mengurai bau busuk perilaku di hari kemarin

rembulan lalu dustin hoffman mengelus rindu
katanya masih ada sejenis cinta
atau apapun namanya
yang telah mempertemukan kita
dengan segala bau anggur dan bakaran kretek
dengan segala warna gincu dan bilur bedak
hingga malam bisu kian batu

"kita definisikan kembali
rindu dan cinta ini
pada muara sungai..."

Kudus, Juni 2011.

bersama Saga Veho

Menggali Teater di Kota Pabrik

Di sebuah kampus, seorang aktivis teater menyebut keberadaan teater kampus sebagai media pembebasan, yakni upaya mengenali, mengakrabi, menggauli dan mengerti kembali kemandirian setiap manusia sebagai pribadi yang unik dan spesial. Lalu apakah teater bagi buruh?

Pernyataan mengenai teater yang terlontar saat saya diundang untuk memberi workshop teater kampus di Jogjakarta oleh seorang mahasiswa di atas semakin liar mencari jawaban aktualisasinya ketika saya mulai berhadapan langsung dengan teater buruh.
Pertanyaan itu menggedor-gedor benak saya. Mereka, kaum buruh, selama ini lebih suntuk dengan pekerjaan kesehariannya. Lebih intens mengikuti ritme kerja yang sedemikian ketat dan mengikat. Sehingga sangat mungkin mereka sudah tidak tahu lagi sampai dimana kehidupannya berjalan, lupa pada sejuta kenangan masa kecil dan kampung halaman, dan jangan-jangan sudah tidak memikirkan lagi keberadaan dirinya untuk sekedar berrefleksi dan menimbang tinggal berapa galah lagi cita-cita bisa tercapai.

***

Baiklah kita padankan terlebih dahulu persepsi kita bahwa teater buruh merupakan teater yang dikelola dan dihuni oleh kaum buruh. Dalam pengertian sempit, kaum buruh adalah mereka para pekerja harian dan borong yang bekerja di pabrik-pabrik dengan penghasilan rendah dalam struktur organisasi pabrik. Mereka pula yang selama ini juga menjadi ujung tombak perkembangan perusahaan. Biasanya mereka juga merupakan pekerja harian, borong atau pekerja lepas, yang penghasilannya dihitung dari kuantitas hasil pekerjaan mereka. Sekaligus bahwa keberadaaan mereka selalu urgen terlebih ketika kita sudah mulai berbicara mengenai persoalan-persoalan di berbagai sektor dalam dunia industri.

Selain pengertian umum di atas, kaum buruh sendiri nampaknya juga memiliki pengertian tersendiri. Mereka acapkali menyebut dan mendefinisikan buruh sebagai embuh ora weruh, yang paling tidak akan berarti; tidak tahu (kepastian) nasib hidupnya. Pemahaman ini muncul barangkali karena mereka sadar betul bahwa keberadaan dan penilaian hasil kerjanya bergantung sepenuhnya terhadap kebijakan sang majikan. Mereka sendiri, seakan-akan, tidak memiliki kekuatan lagi untuk merubah nasibnya.
Tentu saja pemikiran tersebut belum kuat untuk dijadikan acuan faktual.

Akan tetapi, kita semua juga telah menyadari bagaimana kehidupan buruh di Indonesia, dimana mereka masih menjadi kaum marjinal dan cenderung abai dari perhatian. Keberadaan mereka akan menjadi sangat penting lagi ketika Indonesia sudah mulai mengarahkan konsentrasinya pada pembangunan dunia industri. Jika ceroboh, mereka bisa menjadi kekuatan yang sulit ditundukan. Oleh karena eksistensinya yang sedemikian penting, maka menjadi hal yang menunjang pula bagi kita untuk mulai berbicara mengenai ruang publik dan ruang ekspresi bagi mereka. SPSI dan federasi pekerja yang telah mulai tumbuh sekarang ini merupakan ruang publik kaum buruh. Tetapi ruang ekspresi? Dalam tulisan saya ini, saya memberanikan diri bahwa teater menjadi satu alternatif yang penting (meskipun bukan satu-satunya) bagi tersedianya ruang-ruang ekspresi tersebut.

***

Teater buruh menjadi ruang ekspresi kaum buruh yang akan bersifat khas dan unik, karena justru pada posisi buruh itu sendiri. Mungkin agak identik kekhasan tersebut dengan keberadaan teater kampus, yang para anggotanya sama-sama memiliki keterikatan struktural. Selain itu, persamaan lainnya adalah bahwa mereka terbangun dalam satu atau naungan yang kemudian memiliki kepentingan-kepentingan tertentu yang boleh dibilang sama. Akan tetapi, pada kesempatan tertentu teater kampus nampaknya lebih memiliki wibawa sendiri daripada teater buruh.

Barangkali hal tersebut terjadi, oleh karena pandangan khalayak terhadap kampus berbeda dengan pabrik. Kampus dipandang sebagai tempat berkumpulnya para intelektual, sementara pabrik lebih diisi oleh rutinitas dan aroma keringat kerja. Lantas bagaimana persoalan dan tantangan teater buruh kita? Bagaimana peluangnya ikut menyemarakan jagat teater Indonesia pada umumnya? Profesi mereka yang utama adalah sebagai buruh. Tentu akan sangat lain apabila teaterlah yang menjadi profesi. Rutinitas kerja dan perasan keringat mereka di dalam pabrik merupakan kenyataan dan pengalaman mereka setiap hari, serta barangkali cita-cita mereka. Teater, dengan demikian merupakan sesuatu yang asing pada awal kehadirannya, dan akan tetap merupakan nomor kesekian bagi mereka yang kemudian menceburkan diri terlibat berproses teater.

Konsekuensi logisnya bahwa intensitas dan konsentrasi terhadap teater akan tereduksi oleh kepenatan dan kesibukan kerja. Teater menajdi kegiatan pengisi waktu ketika urusan pabrik telah beres. Dan pada beebrapa kasus, kegiatan yang semula menjadi sekedar waktu itu pun bisa menjadi sebuah beban tersendiri. Terlebih ketika mereka menilai bahwa teater merupakan hal yang tidak hanya mengeluarkan energi, tapi juga menguras pikiran.

Tantangan yang kedua, masih ada hubungannya dengan uraian sebelumnya, bahwa insan teater buruh merasa terhambat oleh faktor pendidikan. Pada awal saya menceburkan diri terlibat di teater buruh, dan mencoba menyodorkan naskah-naskah untuk dibaca (dialog), jelas terlihat betapa kebanyakan dari mereka selama ini kurang memiliki tradisi membaca, apalagi mengucapkan kalimat yang dibaca sebagai dialognya.
Hal ini bisa dipahami, oleh karena rata-rata dari mereka hanya mengenyam pendidikan sekolah menengah. Ada yang cuma lulus SD, atau SMP dan menengah umum. Kesibukan mereka bekerja barangkali telah menenggelamkan pandangan mereka untuk melihat ‘dunia yang lain’.

Oleh karena demikian keadaanya, teater semakin memiliki tanggungjawab yang lebih luas lagi, untuk tidak mengatakan berat, sebagai arena belajar. Meski hal itu pun harus dilakukan secara perlahan-lahan, seiring tingkat pemikiran mereka menangkap wacana-wacana baru yang dihadapkan. Ini jelas akan memberikan warna tersendiri pula untuk teater buruh. Di samping faktor kontektualitas, naskah-naskah yang diangkat pasti akan lebih banyak menyuarakan hal-hal yang terjadi di sekitar mereka sendiri. Butuh waktu misalnya untuk berani mengangkat karya-karya setingkat William Shakespeare atau Samuel Becket dan sejenisnya.

***

Mengapa ruang ekspresi bagi buruh juga penting? Dalam struktur dunia industri, buruh menjadi bagian integral dari jalannya proses-proses produksi, distribusi dan sebagainya. Lebih dari itu, mereka merupakan ujung tombak dari lajunya sebuah pabrik. Kadangkala hal itu menenggelamkan eksistensi mereka sendiri. Singkatnya, mereka secara tidak sadar akan disebut sebagai mesin produksi sebuah perusahaan. Akan tetapi kita harus kembali melihat bahwa mesin produksi tersebut, misalnya, tetaplah manusia-manusia utuh yang lengkap dengan segala pikiran dan perasaan yang dimilikinya.

Oleh karena itu, ruang ekspresi tidak hanya sebagai selang penyaluran ekspresi tetapi juga niscaya akan menjadi kran yang membuka cara berpikir yang lebih humanis. Barangkali, pada setiap bagian HRD (Human Resources Department) menyadari ruang ekspresi sebagai pendidikan humaniora yang akan menyelaraskan misinya, yakni meningkatkan kualitas SDM.

Pada beberapa kesempatan, teater justru diberi peluang untuk tampil dan dinikmati bersama. Momentum semacam itu, jelas memiliki pengaruh kuat, karena membuktikan terbukanya jembatan komunikasi dan memisahkan jarak perbedaan-perbedaan.

***

Semangat dan gigih dalam kemiskinan, yang diteriakkan oleh Rendra bagi teater akan menjadi energi untuk kreativitas. Sembari teater buruh mulai membuktikan bahwa teater itu perlu hidup di tengah-tengah kesibukan kerja dalam perusahaan. Bahwa teater mampu memberi arti, paling tidak membawakan pemahaman-pemahaman yang lebih baik bagi buruh, dalam konteks kehidupan dan perilaku kerjanya. Teater buruh bisa menjadi agen informasi atau bahkan bengkel bagi terbangunnya sumber daya manusia yang lebih sehat.

Rasa senang, nikmat dan kepuasan batin yang mereka dapatkan akan menjadi bekal ke depan, sekaligus ikut memperkaya pengalamannya. Oleh karena itu, ruang ekspresi yang ideal bagi mereka adalah juga ruang rekreasi. Tempat melepas lelah, mencari kesegaran baru, dan syukur-syukur memberikan wacana-wacana pencerahan, yang nantinya penting bagi kehidupan di tengah masyarakat. Maka sambil berekpresi itu, teater menjadi gerbong yang melintasi hutan, perbukitan dan memperlihatkan sawah dan kebun, sungai-sungai di bawah jembatan serta semua yang dilewatinya.***

SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA

  SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA Kau terlebih dulu ada Sebagai saudara tua yang setia Kau terlebih dulu berada di sini Siang malam diam-diam ...