30/03/12

Pledoi Sebatang Kretek

-pethilan pertama.

Tergeletak.
Tak berdaya.
Di sebelah sampah -orang-orang menyebutnya: kotoran-.

Dingin.
Beku.
Kaku.
Layaknya pendosa.

Padahal ribuan waktu.
Telah mengajakmu tualang.
Ke garis depan imajinasi.


02/03/12

Salah Pilih


Skenario Film Pendek
Salah Pilih
Naskah & Sutradara: Asa Jatmiko

"belajar milih pemimpin, yuk!"



Tokoh:
1. Pak Sigit – sopir terpilih
2. Pak Agung - Sopir yang sakit
3. Istri Pak Sigit
4. Purwoko, pembantu Pak Agung
5. Mba Weny, Sutradara
6. Petinggi Desa
7. Santoso / Santi
8. Petugas Polisi
9. Anggota grup teater (7 – 9 orang)

Setting:
1. Tempat latihan kethoprak
2. Satu unit mobil – minibus jenis elf
3. Teras Rumah / Garasi Pak Agung
4. Rumah Pak Sigit


Musik Opening
Credit Title
Salah Pilih


Text:
Memilih pemimpin yang baik merupakan tanggungjawab kita bersama.

Dissolve to

Scene 01.
Seluruh pemain dan sutradara sedang berkumpul santai di tempat latihan. Mendengarkan Pak Lurah bicara.

Petinggi Desa
Panitia Kunjungan Bapak Presiden di Semarang telah menunjuk grup kita ini sebagai salah satu pengisi acara. Ini tidak main-main. Kalian telah dipercaya! Tidak ada alasan bagi kami dan seluruh warga desa, untuk tidak mendukungnya. Karena kalian akan menjadi duta-duta kesenian dari desa kita tercinta.
Oleh karena itu, berlatihlah dengan keras dan penuh semangat. Saya menaruh harapan besar kepada grup ini. Untuk tampil membanggakan di depan Bapak Presiden dan tamu-tamu.

Seseorang
Kawan-kawan, kita memang tidak boleh menganggap enteng tugas ini. Beban kita tidak ringan.

Seseorang
Itu yang mestinya jadi motivasi kita berlatih. Kita harus bisa tampil sebaik-baiknya, ya kan?

Santi
Jadi Pak Lurah, kalau kita nanti tampil sukses, kita jadi artis dong?!

Seseorang
Ah...Artis....! Nggak penting jadi artis kalau makan saja masih ngutang sana-sini...!

Santi
Eh, kamu menghina ya! Sorri, aku nggak pernah ngutang!!

Seseorang
Eh, sudah-sudah!
Begini Pak Lurah, selama ini kan grup kita ini kayak hidup segan mati tak mau. Kita berjuang keras, tapi jarang sekali kita mendapat dukungan. Jadi ya...seperti ini terus keadaannya.
Giliran pas ada tugas begini, kita kalang-kabut persiapannya.
Kalau boleh usul, kalau nanti pentas kami sukses, mbok kami didukung. Difasilitasi. Atau apalah...biar grup ini berkembang.

Terlihat teman-teman yang lain mengangguk-angguk.

Petinggi Desa
Saya kira itu bukan permintaan yang muluk. Justru akan saya dukung. Saya sendiri yang nanti akan mencari relasi sebanyak mungkin, agar kalian bisa pentas dimana-mana. Desa akan saya dorong untuk membantu pemenuhan sarana dan prasarana. Dan jika berkembang, saya yakin secara ekonomi pun kalian akan tercukupi.
Ini janji saya kalau pentas kalian sukses.

Seluruh teman-teman bertepuk tangan, Fade out. Dissolve to Scene 02. 


Scene 02.
Setting : Tempat Latihan Kethoprak
Kamera : MLS latihan
Tokoh : Sutradara, Anggota Grup, Petinggi Desa
Isi Scene :
- Suasana latihan dengan beberapa penggalan dialog tokoh (kethoprak)
- arahan sutradara
- latihan lagi, dan oke.

Petinggi Desa
(Tepuk tangan, kemudian berkata kepada salah seorang anggota grup)
Bagus! Saya suka itu!

Salah Seorang
(Mengangguk senang)
Iya, Pak.
Mba Weny memang sutradara yang hebat.

Petinggi Desa berjalan mendekati sutradara yang sedang memberi arahan.

Mba Weny
Coba ulang!
Acong jangan over-bloking, yang lain juga! Sadar diri, jangan sampai gestur tidak terlihat dari penonton! Ayo, ulang! Que-nya dari Charis!
(Lalu ia kembali ke tempat duduknya. Di sebelah kursi sudah datang mendekat petinggi desa.)

Petinggi Desa
Kami tidak salah pilih, kan?

Mba Weny
Maksud Bapak?

Petinggi Desa
Memilih Mba Weny untuk menyutradarai.
Saya yakin, Mba Weny bisa membawa grup ini tampil bagus, besok saat kunjungan Presiden di Semarang. Kesuksesan pentas ini akan menjadi kebanggaan kami, seluruh masyarakat desa.

Mba Weny
Itu bukan karena saya, Pak Lurah.
Kepercayaan mereka sendiri, bahwa mereka akan berhasil.
(Tiba-tiba) Cut!!
(Kemudian berdiri lagi dan memberi arahan. Sementara Pak Lurah tersenyum sebentar, kemudian hp-nya berbunyi. Dia mengangkat telepon)

Petinggi Desa
Sugeng siang, Pak Panitia. (tertawa)
Bagaimana?
Ohya, semua sudah siap.
Betul, besok pagi kami sudah berangkat.
Baik-baik.
O, tidak. Ya, pasti. Kami akan tiba tepat waktu!
(Kamera mulai bergeser dari CU Petinggi Desa paning ke grup yang latihan. Suara Petinggi Desa juga mulai fade out). Ya, ini masih latihan terakhir.
Tentu. Ini sebuah kehormatan bagi kami, Pak.
Ya, terimakasih.


Scene 03.
Setting : Rumah Pak Agung
Kamera : Mobil Elf milik Pak Agung, dan Keadaan Pak Agung yang masih sakit.
Tokoh : Pak Agung, Purwoko.
Isi Scene :
- Pak Sopir mengatakan bahwa dia tidak mungkin bisa mengantar grup ke Semarang
- Menyerahkan kunci mobil untuk dibawa oleh grup

Kamera membidik tangan Purwoko (pembantu Pak Agung, dan dia juga menjadi pemain dalam grup teater itu) yang sedang melap minibus. Mulutnya tak henti-hentinya bernyanyi. Hingga tak disadarinya Pak Agung sudah berada di belakangnya.

Pak Agung
Pur...

Karena terkejut, lap basah yang sedang dipegangnya mencelat ke muka Pak Agung.

Purwoko
Aduuh....
Nyuwun pangapunten lo Pak... (Sambil mengambil kembali lap yang tersampir di muka pak Agung dengan hati-hati)
Saya benar-benar terkejut. Tidak tahu ada Bapak.

Pak Agung
Kamu itu nggak ngerti, orang lagi sakit kok malah mukaku kamu buat mainan.

Purwoko
Saya benar-benar minta maaf, Pak Agung.

Pak Agung
Ya, sudah.

Purwoko
Pak Agung masih sakit, to?

Pak Agung
Iya. Kepalaku masih pusing. Lemas. Sepertinya aku tidak mampu nyopir untuk mengantar kalian ke Semarang, Pur.
Sekarang begini saja, kamu segera ke tempat latihan, temui Pak Lurah atau Mba Weny. Sampaikan permintaan maaf, kalau aku benar-benar tidak enak badan.

Purwoko
(Bingung) Lha terus nanti kami berangkatnya.....?

Pak Agung
(Menyerahkan kontak mobil)
Ini demi nama baik desa kita, kalian kan harus tetap berangkat. Mobilku dibawa saja. Salah satu dari kalian kan pasti ada yang bisa nyopir.

Purwoko
Tapi....

Kamera zoom to CU Purwoko yang melongo bin bingung. Lalu terdengar suara Pak Agung yang semakin menjauh.

Pak Agung (Voice)
Aku nanti berobat, di antar anakku. Sudah sana...!

Dissolve to Tas Hitam.


Scene 04.
Setting : Rumah Pak Sigit
Kamera : Close Up Pak Sigit lagi berkemas.
Tokoh : Pak Sigit, istrinya
Isi Scene :
- Istri Pak Sigit dengan nasihat-nasihatnya agar bermain bagus.
- Pak Sigit dengan sikapnya yang sering tergesa-gesa.
- Di halaman, istrinya memberinya uang saku untuk di jalan.

Tas Hitam sudah hampir penuh, kemudian diisi lagi dengan satu pakaian lagi.

Istri Sigit
Apa lagi yang ketinggalan?

Sigit
(Lagi berdandan di depan cermin. Sesekali dia berakting di depan cermin)
Sudah semua.

Istri Sigit
Kostum kamu?

Sigit
Sudah. Eh iyo, anduk....

Istri Sigit
(Masuk ke ruangan yang lain)
Dompet?

Sigit
Ho-oh, masih di saku celana kemarin. Ambilkan sekalian....

Istri Sigit
Hp?

Sigit
Sudah.
(Meraba sakunya).
Ow...., sudah di tas apa ya?

Istri Sigit
(Mengecek di tas sambil ngrundel)
Waah.....payah!
(mencari-cari dan nggak nemu)
Nggak ada di tas!

Sigit
Lho?

Istri Sigit
Tanganmu itu pegang apa?

Sigit
Oh iyo.....

Istri Sigit
Jadi orang pelupa kok main teater! Gimana bisa hapal naskah?

Sigit
Nyatanya yo bisa gitu kok?!

Istri Sigit
Awas kalau nanti tampilnya malu-maluin.....!

Sementara itu Sigit sudah selesai berkemas.

Sigit
Aku berangkat.

Istri Sigit
Jangan lupa pulang bawa oleh-oleh ya....

Sigit
(mengambil dompetnya dan membukanya. Kosong, Cuma beberapa lembar ribuan.)

Istri Sigit
(mendekat dan memberikan uang 200 ribu)
Nih buat uang saku. Sekalian kalau sempat mampir beli oleh-oleh....

Kamera zoom to uang. Dissolve to Scene 05.



Scene 05.
Setting : Tempat Latihan
Kamera :
Isi Scene :
- Sutradara menginformasikan bahwa Pak Agung tidak bisa menyopiri sendiri, tetapi mobilnya boleh dibawa demi duta desa.
- Petinggi mengatakan bahwa bagaimana pun grup harus berangkat.
- Seseorang mengusulkan untuk disopiri sendiri oleh grup, karena ada 3 orang yang bisa jadi sopir, termasuk Pak Sigit.
- Petinggi mengusulkan ada pemilihan, mengingat pentingnya perjalanan dari tempat itu ke Semarang. Tentu dengan memiliki beberapa syarat, antara lain: punya SIM, dsb.
- Sesaat sebelum pemilihan, Pak Sigit sempat memberikan uang kepada salah seorang kawan dan menyuruh untuk membagi uang itu untuk beberapa kawan.
- Jam dinding menunjukan waktu untuk segera berangkat.
- Akhirnya yang kebagian itu memang yang memilih Pak Sigit untuk jadi sopir mereka.

Sigit berjalan mendekati rekan-rekannya yang sedang berkumpul.
Mba Weny terlihat sedang membisikkan sesuatu ke Pak Lurah, sambil menyerahkan kontak mobil.

Petinggi Desa
Lho, tidak bisa? Terus siapa yang bawa mobilnya nanti?

Mba Weny
Di tawarkan saja. Siapa tahu ada yang bisa nyopir, Pak.

Petinggi Desa
(mengangguk. Tangannya sudah memegang kontak mobil)
Pak Agung ternyata tidak bisa ngantar kita ke Semarang. Harus ada yang mau nyopir kalau kita tetap ingin berangkat. Siapa di antara kalian yang bisa nyopir?

Hampir semua tunjuk jari.

Petinggi Desa
Maksud saya, yang memenuhi syarat. Punya pengalaman dan punya SIM.

Terlihat 2 orang tunjuk jari.
Terlihat Santo (namanya Santono) yang biasa dipanggil Santi, berbicara kepada Sigit.

Santo
(Sambil memegang dan menggoyang-goyangkan pundak Sigit)
Mau dong.... Ya!
Pokoknya Santi nggak mau kalau bukan Mas Sigit yang nyopir, deh!

Sigit
Aku nyopir?!

Santi
Ho-oh....punya SIM kan?

Sigit
Iya, tapi....

Santi
(Berdiri) Pak Lurah, Sigit juga bisa nyopir dan punya SIM.
Bagaimana kalau Mas Sigit saja yang nyopiri kita?

Hampir semua teman-temannya:
Huuuu.....

Petinggi Desa
Ya, sudah. Kalau begitu, kita punya 3 pilihan.
Kita ambil suara terbanyak saja, ya!
Coba kamu, kamu dan Sigit kemari sebentar. Tunjukan SIM kalian.
(Lalu mereka bertiga maju, dan memperlihatkan SIM mereka. Pak Lurah mengangguk-angguk, lalu menyuruhnya kembali duduk)
Sekarang, biar adil, kalian tulis salah satu nama dari 3 orang ini, yang kalian percaya sebagai sopir kita.

Santi dengan gerilya mempengaruhi rekan-rekan di sampingnya.

Santi
Tulis nama Mas Sigit, ya! (Lalu menyelipkan 50 ribuan) Buat beli oleh-oleh nih...
Awas kalau bukan Mas Sigit! (lalu memberikan 50 ribuan) Ini buat beli bakso Semarang!

Ada 4 orang yang ia pengaruhi. Sigit di sebelahnya agak terheran-heran dengan aksi Santi.

Sigit
Ini apa-apaan?

Santi
Pokoknya, kamu yang harus jadi sopir! Aku nggak mau yang lain.....
(terus dia dengan jarinya memberikan kode “uang” pada Sigit?)

Sigit
Untuk apa?

Santi
Aduh, Mas Sigit ini....mereka perlu oleh-oleh, mas

Sigit masih belum mengerti. Ia mengambil dompet dan memberikannya uang 200 ribu ke Santo, dan langsung cekatan ditangkap Santo.

Sementara itu, teman-teman yang sudah menulis, menyerahkan nama itu dikumpulkan ke Petinggi Desa.

Petinggi Desa
Baiklah, sudah semua, ya. Dan setelah kita hitung, suara terbanyak memilih Sigit.
Ayo Sigit, (sembari memperlihatkan kontak mobil) tidak usah mengulur waktu lagi, ayo kita segera berangkat.

Zoom to kontak mobil yang diserahterimakan. Dissolve to kontak mobil yang sudah terpasang dan mobil yang tengah berjalan.


Scene 06.
Setting : Di dalam minibus.
Kamera : Raut wajah ceria para penumpang.
Isi Scene :
- Para penumpang yang memuji kecakapan Pak Sigit.
- Pak Sigit nyopir santai, sambil ngobrol dengan kawan di sampingnya.
- Tiba-tiba seorang penumpang mengeluh, bahwa jalannya terlalu lambat.
- Pak Sigit melihat jam, ia harus mengejar waktu.

View perjalanan Kudus – Semarang dari dalam mobil. Juga sesekali memperlihatkan mobil yang tengah melintas di jalan raya. Jalannya lambat sekali.

CUT TO CU Petinggi Desa
(memperlihatkan raut wajah yang ceria, tersenyum, lalu tiba-tiba Hp-nya berdering)

Petinggi Desa
Sugeng Siang.....
Pak Panitia, ya.... Ini kami sudah berangkat.
Ya, ya! Pasti tidak akan terlambat!
Bapak Presiden sudah sampai bandara?
Oh...yaya....pasti, Pak Panitia!
Seseorang
Git, ayo cepat! Kita diburu waktu nih!

Seseorang
Lambat banget! Sama orang naik sepeda saja kalah....! kapan kita sampainya?

Santi
Mas Sigit ini sudah bener: alon-alon waton kelakon.
Ya, to Mas?

Seseorang
He santo!

Santi
Santi!

Seseorang
Apapun namamu-lah! Kalau seperti ini ya pasti nggak bakal kelakon.

Mba Weny
(Melihat jam tangannya)
Sigit, bisa dipercepat sedikit?

Sigit
Iya, Mba....
(Sambil mengusap keringatnya)

Petinggi Desa
Ngomong-ngomong, kamu dapat SIM-nya setelah ikut test, kan?

Sigit
Dibantu Wongso, Pak.

Mba Weny
Maksudmu nembak?

Petinggi Desa
Ya, sudah. Tapi Lebih cepat lebih baik, Sigit. Tapi yo....tidak usah tergesa-gesa...ya...(dia sendiri bingung dengan arti ucapannya barusan...)

Sigit
Iya, paham Pak Lurah.

Sigit melirik ke Mba Weny dan mengangguk

Kamera view dari luar, memperlihatkan mobil bergerak lebih cepat. Bahkan tergolong sangat cepat.


Scene 07.
Setting : Di dalam minibus
Kamera : Sikap Pak Sigit yang mulai ugal-ugalan, ngerem mendadak, ngeblong di lampu merah, dsb.
Isi Scene :
- Minibus dikejar polisi, dan diminta menghadap ke kantor polisi. Hal ini menyebabkan urusan menjadi lama.

Kamera: laju mobil yang ugal-ugalan
Kamera: ngerem mendadak
Kamera: lampu merah, mobil ngeblong
Kamera: mobil melaju kencang, dari arah belakang seorang polisi bermotor mengejar dan menyuruhnya minggir dan berhenti.

Seseorang
Ada apa, Git?

Sigit
Biasa-lah, Polisi.

Petugas Polisi menghampiri Sigit di luar pintu kemudi.

Petugas Polisi
Selamat siang, Pak.
Maaf mengganggu perjalanan Bapak.
Bisa tunjukan surat-surat, Pak?

Sigit
Ya, ini Pak.
(Sambil menyerahkan SIM dan STNK, dan diterima Petugas Polisi)

Petugas Polisi
(Memeriksa sebentar)
Bapak tahu tadi di perempatan lampu merah sudah menyala?

Sigit

Ehm.....(bingung) Saya tidak tahu, saya kira masih hijau, Pak.
(sambil menyodorkan amplop berisi uang) Ehm, Pak, kalau bisa kita selesaikan di sini saja. Tolong, Pak.

Petugas Polisi
(tangannya menolak)

Bapak ikut saya ke kantor sebentar, Pak. Kita selesaikan di kantor.
Mobilnya tolong di parkir di sana dulu, Pak.
Mobil di parkir. Sigit turun, menghampiri Petugas Polisi yang kemudian memboncengkannya ke kantor polisi.

Santi
Pak Lurah, Sigit dibawa Pak Polisi. Gimana nih, Pak?
Ayo, Pak, kita tolong dia!

Petinggi Desa
Kita tunggu saja di sini. Mudah-mudahan urusannya cepat selesai.

Santi
(kepada yang lain) Ayo dong, ikut bantuan Mas Sigit....
Kasihan kan?

Tetapi semua teman-temannya diam, acuh tak acuh.



Scene 08.
Setting : Di dalam Minibus
Kamera : Petinggi memperoleh informasi (via telpon) dari panitia
Isi Scene :
- Petinggi mendapat telpon
- Petinggi minta maaf dan minta diberi waktu
- Panitia tidak bisa mentolelir karena Pak Presiden juga punya banyak acara.
- Minibus batal mengantarkan rombongan utk pentas.
- Seluruh penumpang kecewa.

Kamera memperlihatkan raut wajah kecewa para penumpang. Cukup lama mereka sibuk dengan pikiran dan perasaannya masing-masing.

Kamera statis saja di satu tempat di dalam mobil, sampai kira-kira 30 menit. Selama itu, merekam aktivitas (menunggu Sigit) yang belum juga datang. Ada yang beranjak dari duduk, berjalan, ada yang ngobrol ngrasani Sigit, dan sebagainya, hingga tiba-tiba terdengar hp Pak Lurah berbunyi.

Mba Weny

Melihat jam tangannya, kemudian mendesah.

Pak Lurah

Halo....Pak Panitia ya...
Iya benar, rombongan pentas pengisi acara.
Tidak, cuma ada masalah sedikit.
(berusaha meyakinkan) Tapi sebentar lagi kami sampai di lokasi.
Apa?!
Acaranya sudah separuh jalan? Tapi kami pasti akan sampai di lokasi.
Ya, kira-kira 30 menit lagi, Pak. Bisa kan?
(berubah lemas) Baiklah, Pak. Selamat siang Pak Panitia.

Mba Weny
Bagaimana, Pak?

Pak Lurah
(Kepada semua) Kita sudah pasti terlambat sampai di sana. Bapak Presiden sudah di sana, dan acara sudah separuh jalan. Tidak mungkin Bapak Presiden yang menunggu kita.
Kita pulang.....

Kemudian, datang Sigit setelah dari urusan di kantor polisi.

Sigit
Yo, Siap berangkat!

Semua diam. Semua mata tertuju kepada Sigit.
Sigit kaget melihat perubahan sikap teman-temannya.
Lalu tiba-tiba semua berlari hendak mengeroyok Sigit – CUT to statis mode.

End.

SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA

  SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA Kau terlebih dulu ada Sebagai saudara tua yang setia Kau terlebih dulu berada di sini Siang malam diam-diam ...