26/05/12

Sebuah Film "JALAN NIRVANA"


Adaptasi cerpen: Sepasang Kera yang Berjalan dari Pura ke Pura, Sunaryono Basuki Ks
Script and Director: Asa Jatmiko

Sinopsis Script Film
“Jalan Nirvana”

Bagavad Gita mengatakan:
"Bagi yang hidup kematian adalah pasti, dan bagi yang mati lahir kembali adalah pasti".


SCENE 1.
Bertahun-tahun lamanya lelaki yang duduk kesepian di kursi malas di kebun rumahnya sampai pada suatu saat mereka dapat berkumpul kembali dan bersama hujan turun ke bumi sebagai anak-anak kera yang lucu.

SCENE 2.
Masa bahagia sepasang kekasih (Aji – Cita) hingga bersumpah setia sampai mati. Kota.

SCENE 3.
Istrinya mengandung anak pertama, dan ngidam kijang guling. Perburuan kijang dilakukan, hingga menemukan anak kijang yang masih dikandung induknya. Istrinya mati saat melahirkan di rumah sakit. CUT TO

SCENE 4.
Bertahun-tahun lamanya lelaki duduk kesepian di kursi malas di kebun rumahnya sampai pada suatu saat mereka dapat berkumpul kembali dan bersama hujan turun ke bumi sebagai anak-anak kera yang lucu. SHADOW: Anaknya dan kijangnya, terbang ke langit mencari mamanya. Bertahun-tahun lahun, dan lelaki itu menunggu di kebun rumahnya.

SCENE 5.
Saat inilah, ia memperoleh penglihatan (Neraka) sebelum matinya. Ia bisa kembali bersatu dengan istrinya, dengan syarat: mereka menjadi sepasang kera yang berjalan dari pura barat ke timur dengan berjalan kaki sepanjang 80 km, dengan menjaga kesucian dan kesetiaan. Mereka pun kembali bersumpah setia dan kesucian, meskipun suami istri tidak boleh bersetubuh sebelum tugas suci diselesaikan.

SCENE 6.
Sepasang kera berdoa di depan pura, mengemban tugas suci: berjalan dari pura ke pura, dari pura barat ke timur sepanjang 80 km, berjalan kaki, demi menjadi manusia utama. Beberapa pura terlewati, kemudian berjalan lagi, hingga sampailah di sebuah pura.

SCENE 7.
Setelah selesai berdoa, istrinya berbisik untuk kembali melanjutkan perjalanan. Dengan beberapa orang yang tahu, mereka dibiarkan saja, layaknya berpapasan sebagai manusia. Tiba-tiba seorang anak muda dengan senapan angin, melihatnya dan bernafsu mengincarnya.

SCENE 8.
Sepasang kera itu berlari ke atas pohon tinggi, bergelayutan dari dahan ke dahan, menghindari incaran senapan anak muda tadi. Tetapi sayangnya, kera betina, istrinya, terkena tembakan. Ia jatuh ke tanah. Kera jantan sontak turun, memeluk istrinya. Ia hampir saja memutuskan untuk menghadapi anak muda itu, tetapi ia urungkan, teringat perjalanan ke pura timur belum selesai. Ia bersedih harus harus meninggalkan istrinya tergeletak sendirian.

SCENE 9.
Beberapa saat kemudian istrinya yang sudah tak bernyawa dibawa pemuda itu, pulang. Di rumah orang mengulitinya dan membuatnya gulai daging kera. Semua orang yang memakan gulai daging itu, keesokan harinya menjadi gagu, tak bisa bicara. Sementara pemuda itu, kaku di dalam kamarnya.

SCENE 10.
Bertahun-tahun lamanya kera jantan duduk kesepian di teras pura, berdoa dengan setangkai kamboja di telinganya, berharap kembali bersatu dengan istrinya sebagai manusia. -aj-

Kudus, 26 Mei 2012

23/05/12

Bukan Soal Itu

Bukan soal benar dan salah lagi.
Bukan soal suka dan benci lagi.
Bukan soal pintar dan bodoh lagi.
Bukan soal kuat dan lemah lagi.
Bukan soal tega dan iba lagi.
Bukan soal tegas dan plinplan lagi.
Bukan soal malu dan percaya diri lagi.
Bukan soal orang rendahan dan petinggi lagi.
Bukan soal percaya dan curiga lagi.
Bukan soal-soal semacam itu!
Sungguh! Bahkan juga bukan soal janji dan ingkar lagi.

Ini soal sikap.
Seperti Pandu mengakui kalah main dadu.
Seperti Bima mengakui dirinya sekecil Dewa Ruci.
Seperti Arjuna mengakui kepahlawanan Bisma.
Seperti Semar mengakui kedigdayaan anak-anaknya yang penuh kekurangan.
Seperti itulah semestinya.
Bukan soal-soal itu semata-mata.
Tetapi soal harga diri seorang ksatria.
Kenapa seperti kuda buta, jatuh di lubang yang sama pula?
Kenapa tak mengiyakan saja,
bahwa hukuman pun tak cukup menghapus dosa-dosa;
menipu orang kecil,
menipu mereka yang lemah,
menghakimi mereka yang belum tentu bersalah kepadamu.

-aj-

Gambar diambil dari: Glory to Glory

14 Tahun Reformasi

21 Mei 2012, Indonesia-ku Hari Ini


Seorang aktivis ’98 yang bertemu kami seusai pentas di Ambarawa, dengan suara patau-nya yang khas mengatakan bahwa ia malu telah ikut aksi reformasi waktu itu. Ia bahkan menyesal telah turut berteriak-teriak lantang di jalanan & di depan pintu-pintu legislatif.

Nyatanya? Geng koruptor makin bertambah jumlah anggotanya. Kebohongan makin rapi bungkusnya. Pembiaran dan sikap tak peduli dari para pemimpin makin menjadi-jadi. Dan mereka yang tak berdaya, terhimpit dan terdesak dalam harapan yang kosong akan keselamatan.

Inikah buah dari perjuangan yang telah dibela oleh pahlawan kampus, seperti: Mozes, kawan-kawan di Tri Sakti, serta di seluruh negeri ini? Jangan-jangan kita juga telah tega untuk mengusir Indonesia dari hati nurani warga masyarakat.

Atau jangan-jangan aku telah banyak bermimpi. Tentang Indonesia yang digdaya. Indonesia yang adil, makmur dan merata. Indonesia yang indah seperti di iklan pariwisata. Indonesia yang bikin betah di rumah.

Atau, ah..., sialan! Otakku kini gatal untuk memenuhi ajakan revolusi!

Untuk kawan-kawan aktivis ’98, terimakasih atas perjuangan dan pengorbananmu. Juga turut berduka atas pingsannya reformasi, dijambretnya cita-cita reformasi di tengah jalan, sejak dilahirkan 21 Mei, 14 tahun silam. –aj-

16/05/12

Belajar

Belajar komputer, berarti sedang beranjak menuju bisa menguasai komputer. Belajar membaca, berarti tengah berusaha untuk menjadi bisa membaca. Belajar, sama sekali tidak mengandung pengertian 'sudah bisa'.

Tetapi kadang kita lupa. Ketika ada yang tengah belajar tentang sesuatu, dan kita berasumsi dia telah bisa. Kita menganggap sudah pasti bisa. Atau (ini keterlaluan) memaksanya untuk menyetujui ke'bisa'annya meskipun dia sendiri sadar belum bisa. Alih-alih orang lain menyikapi begitu, sering juga kita sendiri yang tengah belajar, menganggap diri kita sudah bisa; padahal sedang belajar.

Belajar merupakan proses, bukan sesuatu yang sudah menjadi. Ia merupakan perjalanan dari membelum hingga menyudah. Itu pun belum final, karena hasil belajar pun tidak merumuskan hal yang pasti. Hasil belajar, memungkinkan interprestasi baru, memungkinkan paradigma baru, memungkinkan untuk menjadi titik awal bagi pembelajaran berikutnya.

Payahnya, kadang kita sedikit punya kepongahan; kita merasa sudah bisa padahal masih sedang belajar, kita menganggap diri kita sudah menguasai akan hal tertentu padahal masih tengah mempelajari, kita mengasumsi diri kita sudah mahir padahal membaca saja belum rampung di halaman terakhir.

Atau, jangan-jangan, kita sudah memasuki era baru, dimana semua hasil diperoleh dari proses yang instant? Kita merasa cukup untuk membaca setengah paragraf dari sebuah paragraf yang ada. Kita merasa selesai ketika pelajaran baru berlangsung. Kita merasa sudah menguasai ketika imajinasi kita terangsang, lalu mengembara sendiri, padahal maksud (tersirat maupun tersurat) belum tergambar jelas.

Saya tidak tahu, inilah gejala belajar kita saat ini. Paling tidak, begitulah proses belajar yang saya alami akhir-akhir ini. -aj-

15/05/12

Perbedaan

Apakah makna dari perbedaan? Kangmas Sujiwo Tejo mengatakan dalam salah satu lirik lagunya sebagai keindahan, seperti pelangi. Mpu Tantular dalam bukunya Kakawin Sutasoma disebutkan, bahwa perbedaan-perbedaan yang ada pada hakekatnya satu (menyatukan).

Bagi kami, Njawa Teater, berbeda merupakan modal bagi kekuatan. Charis Rochman merupakan satu-satunya aktor kami yang paling gemuk; Sutrimo Astrada, satu-satunya aktor kami yang paling suka humor saat break-time; Aconk Tea, satu-satunya aktor yang paling ceriwis mengkritik orang lain; Evan Evangelista, satu-satunya aktor yang selalu demam panggung; Saga Veho, satu-satunya aktor kami yang berangkat dari belajar nyanyi;

Mas Rien, satu-satunya aktor kami paling lucu yang punya anak kembar tiga; Soulya Veho, satu-satunya aktor yang berangkat dari pemain bass di sebuah band dan terlihat paling serius (padahal tidak); Anick, satu-satunya aktor perempuan kuat yang kami miliki; Purna Irawan, satu-satu orang yang sulit sekali humor; Heru Nugroho, aktor dan crew yang selalu siap menjadi apa saja meskipun juga belum bisa apa-apa; Kang Sam, satu-satunya personel kami yang paling diam kecuali kalau ndak ada istrinya (haha....). Ohya, kurang satu, dialah Ning, dia satu-satunya personel kami yang mau jadi istri saya...

Begitulah, kami masing-masing berbeda. Satu-satunya kesamaan kami adalah semangat untuk berbagi karena merasa diri masih miskin (baik materi juga pengalaman). Berpentas dari desa satu ke desa lainnya, mengusung motivasi mentertawai diri sendiri.

Hopla! -aj-

14/05/12

Terbang

Joy-flight Sukhoi Superjet 100 atawa SS100 pada 9 Mei 2012, ternyata menjadi penerbangan terakhir. Padahal ia masih sangat muda, dilengkapi dengan fasilitas alat paling modern seperti flight by wire, ia juga masih dalam perawatan dan pemeliharaan penuh, dipiloti oleh salah satu pilot terbaik Russia. Ia menggetarkan dunia kedirgantaraan, dengan masih menyisakan cerita pilu nan panjang.

Sekitar dua tahun lalu, anak saya terjatuh dari atap loteng rumah tetangga. Gara-garanya, ia hendak mengambil pesawat kertas yang dibikinnya sendiri, tersangkut di bubungan atap. Tinggal sedikit lagi saja tangannya sudah menggapai kena, tapi rupanya kayu yang diinjak kaki kananya patah. Ia pun jatuh ke lantai, menerobos eternit lapuk, terjerembab tepat di kamar mandi. Sakit, isaknya.

Kita kemudian marah, geram, dengan apa yang telah dilakukan. Dengan keusilannya. Dengan melakukan permainan-permainan yang membahayakan dirinya. Kita, tiba-tiba menjadi orang yang paling berhak untuk memaki, tindakan yang berresiko itu. Tetapi menurut saya, itu adalah cara berpikir menurut kita.

Cara berpikir menurut orang (tua) yang selalu berharap anaknya tumbuh sehat tanpa didukung vaksin, tumbuh cerdas tanpa belajar, mampu menjadi dewasa tanpa pernah mengalami pengalaman pahit. Kita ingin menidurkannya di ranjang empuk, tetapi juga berharap ia mengerti bagaimana berterimakasih kepada orang lain. Apakah ini mungkin?

Peristiwa Sukhoi di Gunung Salak, memang menjadi peristiwa pilu bagi kita semua. Tetapi tidak boleh kita putus asa, dan menjadi alasan untuk tidak mengembangkan dunia kedirgantaraan kita. Saya sedih ketika melihat anak saya sakit karena terjatuh dari loteng. Tetapi saya mesti menyadari, bahwa ia telah sukses membuat pesawat kertas, dan menerbangkannya tinggi hingga bubungan atap.

Saya percaya, ia akan belajar memanjat dengan lebih hati-hati lagi, dan memanjat lebih tinggi lagi. Tetapi saya juga harus mendorongnya, bahwa pesawat kertasnya akan diperbaharui lagi, sehingga tidak hanya bisa terbang tinggi, tetapi juga bisa kembali. -aj-

12/05/12

Syukuran

Malam ini kami diajak pesta syukuran. Apa yang dicita-citakannya selama ini telah berhasil. Lalu sebagai tanda syukur, ia mengajak kami makan-makan.

Kemarin, aku dan rekan sekantor juga diajak makan-makan sama Pak Boss. Masing-masing satu mangkuk bakso. Katanya, sebagai tanda syukur bahwa kita telah berhasil melewati 'masa-masa sulit'.

Dua minggu yang lalu, saya disuguhi satu paha ayam, lengkap juga dengan sayur gori dan lauk lainnya. Siang itu, makan-makan kami diujubkan sebagai tanda syukur seluruh keluarga bahwa ibunya telah berhasil lepas dari beban yang membelenggunya.

Tanda syukur, kemudian memang diwujudkan dalam bentuknya yang paling nyata, yakni : makan-makan bersama. Meskipun hal ini bukan hakiki, karena tanda syukur yang paling utama adalah kepada Hyang Widhi, Pencipta Hidup ini.

Dan, lebih dalam sedikit, bahwa dibalik peristiwa makan-makan tersebut, sebenarnya juga merupakan perwujudan sikap rela mempersembahkan pengorbanan, menurutku. Inilah yang menurut saya menjadi penting.

Di balik syukur yang ditandakan, terbawa serta pengorbanan. Yakni: mau mengeluarkan rupiah, mau repot menyambangi keluarga lain dan tetangga, dan tidak pernah dihitung berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk sebuah peristiwa syukur.

Oleh karena itu, adat kita yang sungguh baik ini, sesungguhnya juga ingin mengingatkan kita, apakah selama ini kita telah berkorban bagi orang lain? Karena dengan berkorban, melihat peristiwa tadi, sesungguhnya merupakan ladang subur bagi tumbuhnya bunga-bunga rasa syukur. Rasa syukur kepada Yang Hidup, kepada Yang Satu, kepada Dia yang telah memberi keberhasilan, kepada Dia yang telah membebaskan belenggu, kepada Dia yang telah mengeluarkan kita dari masa-masa sulit.

Amin.-aj-

11/05/12

Perhatian

Mungkin masih ada yang ingat, beberapa pengalaman kita sewaktu kita masih kanak-kanak. Bagaimana kita berperilaku, dengan dorongan naluriah seorang anak tentunya, yang ujung-ujungnya adalah kita meminta untuk diperhatikan. Dan kita akan senang apabila sesudahnya yang kita dapat adalah pujian, tepuk tangan, atau terpenuhinya keinginan kita akan sesuatu kala itu.

Nikmat. Dan semenjak itu, kebutuhan untuk diperhatikan, seringkali jauh lebih besar daripada keinginan untuk memperhatikan. Kadang-kadang secara tidak sadar, dia muncul dalam kehidupan dewasa, kita saat ini. Hanya saja, saat ini wilayahnya lebih luas, tidak hanya dalam lingkup keluarga, juga di lingkungan kerja, kelompok teater dan di lingkungan masyarakat.

Ketika kita kanak-kanak, kita bergantung sepenuhnya kepada orangtua. Apresiasi dan respon mereka terhadap kita, menjadi elemen penting yang turut menentukan hari-hari kita selanjutnya. Sekarang, lingkungan kerja, para personel dalam kelompok teater dan masyarakat, yang menjadi 'orangtua' bagi sikap, perilaku dan cara berpikir kita (secara sosial). Kita, mau tidak mau harus tunduk pada norma sosial yang berlaku, karena di situ ada kebenaran-kebenaran dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah disepakati. Ini tidak berarti bahwa kebenaran yang diyakini secara pribadi hilang. Tidak. Ia masih hidup, karena berakar pada iman, kepercayaan dan cinta.

Akan tetapi, menurut saya, akan lebih baik ketika kebutuhan diperhatikan lebih kecil daripada keinginan untuk memperhatikan. Karena di situlah terdapat upaya saling bangun, saling menguatkan dan maju bersama. Pada saat kita dewasa seperti sekarang, kebutuhan untuk diperhatikan yang terlalu besar lebih banyak akan memperlebar kesenjangan sosial, menjauhkan keakraban dan sekonyong-konyong kita menjadi pribadi yang egois.

Kita akan melihat, bagaimana buah dari keinginan memperhatikan itu, jauh lebih bermakna, bagi hidup dan kehidupan.-aj-

10/05/12

Perulangan

Barangkali inilah bahayanya ketika suatu pekerjaan telah rutin dilakukan, yakni mengalami penurunan nilai. Karena sudah dilakukan berulang-ulang, kita seolah kehilangan 'nyawa'. Kita terjerumus dalam aktivitas tanpa roh. Ini, menurut saya, kecenderungan yang wajar. Tetapi, ketika kita menyadari sepenuhnya nilai aktivitas tersebut, seyogyanya perulangan itu justru makin menambah jumlah kredit point, melipatgandakan asupan penting, bagi hidup kita sehari-hari.

Saking seringnya melakukan aktivitas yang sama, juga akan menghasilkan respon-respon spontanitas, gerak reflek yang (paling tidak) sama. Seperti ketika kita menghapal sila-sila Pancasila, seperti ketika para aktor menghapalkan dialog perannya, dan semcamnya. Perulangan akan menghasilkan hapalan, dan hapalan yang terus-menerus tanpa disertai nilai dan amalan, hapalan itu akan diucapkannya kosong, blong, hampa dan miskin nilai. Apa sebetulnya yang mengakibatkan kekosongan itu, menurut saya, adalah keterlibatan (diri dalam) kita yang semakin menjauh, atau menafikan nilai. Bedakan pengalaman kita saat pertama kali melakukan aktivitas itu.

Saya teringat ketika dulu belajar naik sepeda. Pertama kalinya, perasaan yang muncul adalah rasa takut kalau terjatuh, keingin-tahuan bagaimana cara menjaga keseimbangan, ekstra hati-hati, dan hal-hal teknis semacamnya. Berulangkali mencoba dan jatuh, dan jatuh lagi. Beberapa saat sepeda saya kayuh kencang dan semakin kencang, karena dengan begitu sepeda bisa berjalan (menurutku) dengan seimbang. Dan kemudian, hilang kendali, lupa menarik gagang rem, menabrak pagar, dan jatuh pula.

Namun rupanya, kesuksesan mengendarai sepeda diraih, tepat pada saat saya melupakan hal-hal teknis itu. Apa yang ada dalam benak saya adalah mencoba memperhatikan jalan di depan, dan keseimbangan kemudian terjadilah.

Sekarang, naik sepeda adalah aktivitas biasa. Maksud saya, karena sudah di luar kepala, aktivitas naik sepeda jadi biasa. Bahkan berani pula dengan lepas stang! Tetapi, dimanakah nilainya? Hilang terlindas roda.

Tidak. Menurut saya, nilai dari aktivitas yang rutin itu tidak hilang atau menurun. Ia justru (mestinya) makin banyak membuahkan nilai. Seperti saat ini kita hapal kelima sila dari Pancasila, tetapi seolah kosong tanpa makna, dimanakah nilainya? Seperti para aktor yang telah berbulan-bulan menghapal naskah, pentas berulang-ulang dengan naskah sama di berbagai tempat, seolah makin terasa hambar, dimanakah nilainya?

Hilang kemana nilai dari aktivitas-aktivitas kita yang rutin dan biasa itu? Janganlah sampai kita terjebak, hingga rasa yang timbul adalah bosan dan monoton.-aj-

Poster

Pentas DHEMIT
Njawa Teater


(dok. Njawa Teater)

09/05/12

Mema'afkan

Adalah manusiawi bahwa setiap diri kita pernah melakukan kesalahan. Tetapi jatuh pada kesalahan yang sama, yang saat itu sudah termaafkan, mungkin jadi soal kita yang lain.

Aku diajari bagaimana aku harus memaafkan orang lain. Tidak terhitung salahnya. Tidak terhitung berapa kali maaf harus dilunaskan. Memaafkan, buatku memang obat penyembuh atas lukanya hubungan kita. Dengan memaafkan, aku tak bernafsu lagi untuk menuntutnya.

Aku pun pernah merasa dimaafkan. Seolah, kesalahanku yang besar, tiba-tiba dilenyapkan oleh penerimaan maaf. Dari yang sebelumnya merasa terbelenggu, tak bebas, tak berani keluar, mengunci diri...tiba-tiba padang, benderang, semua terbuka menerimaku kembali, dan melihat kembali ketulusan sebuah senyum. Maka, untuk kesalahan sama, aku ingin tidak mengulanginya. Agar orang lain juga percaya, bahwa maafku benar-benar sungguh, bukan rekayasa, bukan taktik, tetapi murni keinginan dari hati untuk berubah.

Disitu, kita akan berusaha adil kepada orang lain dan diri kita sendiri. Tetapi berbeda dengan apa yang aku lihat akhir-akhir ini. Setelah beberapa kali mengulang kesalahan yang sama dan kami memaafkan, nyatanya ia berbuat kesalahan lagi. Tentu aku harus memaafkannya lagi, to? Aku setuju. Tetapi bagaimana kalau akibat kesalahannya telah merenggut korban, orang lain?!

Aku memaafkan, atau membela korban? Aku ingin keadilan!!!-aj-

Njawa Teater Getarkan TB Praja Muda

Kabar Seputar Muria, - 5 Mei 2012



Jepara - Njawa Teater, Kudus mementaskan teater dengan lakon
“Dhemit” di Pelataran Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Praja Muda Desa Margoyoso,
Kecamatan Kalinyamatan, Jepara, Sabtu (5/5) kemarin. Pementasan berlangsung
cukup meriah karena sudah beberapa bulan TBM Praja Muda tidak menggelar
kegiatan sehingga antusias masyarakat membludak.

Sebelum pertunjukan teater, beberapa penyair turut membacakan puisi. Pulung “Imam Gembleng” memeriahkan dengan pentas biola. Adhitia Armitrianto (Wartawan Suara Merdeka), Asa Jatmiko (Sutradara “Dhemit”) dan Asyari Muhammad (Penanggung jawab TBM Praja Muda) membacakan beberapa puisi.

Asa Jatmiko disela-sela pembacaan puisi memberikan apresiasi kepada TBM Praja Muda karena memberikan ruang edukatif untuk warga. “Saya memberikan apresiasi kepada Asyari Muhammad dkk yang memberikan ruang pendidikan untuk masyarakat,” katanya.


Dikatakannya, dengan menonton pertunjukan teater menurutnya menjadi lebih positif ketimbang di rumah menonton tayangan televisi yang terkadang banyak sisi negatifnya. “Adik-adik, daripada di rumah nonton televisi mending ke taman baca nonton teater,” lanjutnya menyapa anak-anak yang turut hadir.

Lakon “Dhemit” menceritakan kerakusan manusia yang tidak peduli dengan alam. Dengan kerakusan itu sehingga mengusik bangsa demit. Dan bagaimana pun juga manusia yang rakus nasibnya akan celaka.

Asyari Muhammad, Penanggung jawab TBM Praja Muda mengungkapkan pertunjukan tersebut merupakan kerjasama dengan pihak Njawa Teater. “Kami menerima kawan-kawan komunitas yang bermaksud pentas di TBM kami,” ungkapnya.(Syaiful Mustaqim)

08/05/12

Mengeong

Sampai tadi subuh, aku masih mendengar suara itu, mengeong.
Mengeong hingga benakku.

Aku berangkat tidur selepas tengah malam. Seusai membalas beberapa sms, beberapa komentar di status FB-ku dan membuat beberapa tulisan untuk blog-ku. Samar aku mendengar suara, anak kucing yang mengeong. Seperti memanggil-manggil mamanya, yang entah dimana.

Mataku yang sudah terasa berat, memaksaku membiarkan suara anak kucing itu mengeong semaunya. Dari yang awalnya seperti mengeong di belakang rumah, kemudian bergeser ke samping kanan rumah, dan mungkin di saat aku hampir lelap, ia mengeong seperti di teras depan rumahku. Mengganggu saja, pikirku.

Suara ngeongnya begitu memilukan. Sekaligus terasa begitu dekat di telinga. "Tolong aku...," sepertinya ia mengiba begitu. Tapi kutepis saja pikiran itu. Itu pikiran seorang platonik, kalau kuteruskan, aku bisa-bisa bangun terlambat esok pagi. Mengeong ya mengeong saja. Nggak ada makna apa-apa, mestinya kan begitu, sebagaimana naluri binatang pada umunya ketika lapar.

Oh, baru aku sadar, jangan-jangan ia mengeong pilu karena kelaparan. Ah, aku kurang tanggap kalau begini, itu kesimpulanku saat bangun di subuh. Ya, anak kucing yang lapar. Kenapa mesti kusangkut-sangkutkan dengan perasaan? Tapi mestinya ia tinggal mencuri saja makanan di dapur rumahku, toh dapur rumahku selalu terbuka (karena memang tak berpintu). Ia bisa bebas keluar-masuk, dan memakan apa yang ada yang ia suka.

Tapi itu semua kesimpukan pikiranku, subuh ini, menjelang berangkat kerja. Dan rasanya tak memuaskanku. Rasa-rasanya ada kesimpulanku yang masing kurang. Karena bangun-ku tadi juga karena suaranya, mengeong di depan wajahku!! Siang ini, bahkan ia masih mengeong hingga benakku.

(Selasa, 07 April 2012, aj)

07/05/12

Sehatmu Membahagiakan Kita Semua

Reportase Kegiatan Djarum Foundation
Operasi Katarak Gratis di RSUD R.A. Kartini


Sekitar pukul 07.30 WIB di Selasa pagi, koridor sepanjang di depan ruang Instalasi Bedah Sentral sudah mulai dipenuhi orang-orang. Kursi-kursi yang berjejer rapi, di bawah banner besar bertuliskan Operasi Katarak Gratis, sudah mulai dipenuhi. Bahkan beberapa saat kemudian, karena sudah tidak kebagian kursi, banyak orang yang datang belakangan mesti menunggu dan duduk di taman di depan koridor.

Demikian juga para pasien katarak yang hendak dioperasi, ada yang tidak kebagian tempat duduk. Melihat hal itu, salah seorang panitia dari rumah sakit kemudian mengumumkan melalui pengeras suara, kursi-kursi yang disediakan mohon khusus di tempati oleh saudara-saudari peserta operasi katarak. Ya, begitulah, kursi-kursi yang disediakan memang untuk pasien operasi katarak mata gratis.

Ramainya orang-orang di tempat itu, sebetulnya lebih banyak merupakan para keluarga pasien penderita katarak. Pasien kataraknya sendiri yang sedianya akan dioperasi pada hari itu 50 orang. Bayangkan saja, satu orang penderita katarak diantar oleh keluarganya, anaknya, suami/istrinya, ibu/bapaknya, kakek atau neneknya, yang kalau dirata-rata berjumlah 4 hingga 6 orang.
Memang begitulah, kesehatan bagi satu orang ternyata tidak hanya menjadi kebahagiaan satu orang tersebut saja, tetapi juga menjadi kebahagiaan bagi orang-orang yang mencintainya. Pagi itu, 24 April 2012, RSUD R.A. Kartini menjadi tempat berlangsungngya kegiatan sosial Djarum Foundation bersama PERDAMI JATENG, yaitu Operasi Katarak Mata Gratis untuk masyarakat Jepara.

Sesuai laporan dari RSUD Kartini, dari 123 pendaftar, 50 orang dinyatakan lolos screening, sehingga kelimapuluh orang tersebut yang secara medis dinyatakan dapat dioperasi pada hari itu. Sementara dari PERDAMI Jateng telah menyediakan 6 tim dokter yang siap mengoperasi.

Kusnarto, MKes., Direktur RSUD Kartini pada kesempatan membuka kegiatan operasi katarak mengatakan syukur atas penyelenggaraan kegiatan sosial ini. Peran serta aktif dari Puskesmas-puskesmas, Dinas Kesehatan kabupaten Jepara dan juga masyarakat luas, yang telah merespon secara antusias sehingga kegiatan ini dapat berhasil. Dia juga berharap, agar kerjasama dengan Perdami dan Djarum Foundation dapat dilanjut-kembangkan di kemudian hari. Kusnarto juga mengucapkan terimakasih kepada Djarum atas penyelenggaraan kegiatan sosial yang memang dibutuhkan oleh warga masyarakat ini, terutama penderita katarak.

Sementara itu, Bintang Marisi Margaretha Aurelvina, Djarum Foundation,mengatakan rasa terimakasihnya atas antusiasme masyarakat mendukung kegiatan sosial ini, terutama bagi para keluarga yang telah peduli mendaftarkan anggota keluarganya untuk disembuhkan melalui operasi katarak, hingga mendampingi saudara-saudara di rumah sakit ini. Kerjasama yang sangat baik bersama Perdami dan RSUD kali ini semoga membantu saudara-saudara untuk bisa melihat kembali. “Kami berharap operasi nanti bisa berjalan lancar. Sehingga dapat melihat kembali istrinya yang cantik, atau suaminya yang ganteng, atau cucu-cicitnya yang lucu-lucu, ya.”

Kalau ada salah satu keluarga kita sakit, seluruh keluarga turut merasakannya, kita semua mengusahakannya agar dapat sembuh dan sehat kembali. Demikian pula, semoga pulihnya kesehatan mata Bapak dan Ibu akan membuat seluruh keluarga berbahagia. Dan Djarum, mencoba menangkap dan merasakan hal itu, serta seperti hari ini, mencoba ikut ambil bagian merealisasikan cita-cita mulia saudara-saudara semua. (aj)

Njawa Teater Pentas di Taman Praja

SUARA MERDEKA - Tilik Kampung
Senin, 07 Mei 2012


Anak Perempuan, Kecil

Sudah semenjak pagi, seorang suami dari karyawati di tempatku bekerja, menunggu kami bertiga. Jam 9, kami bertiga diharapkan dapat menghadiri ritual sebagaimana yang diminta sang suami tadi. Tetapi, tidak mungkin kami bertiga pergi meninggalkan kerja pada jam yang sama pula.

Akhirnya, sebagai satu-satunya jalan, begitu selesai kerja, aku yang ditugaskan ke rumah keluarga itu. Anak kecil, perempuan, yang merasuki karyawatiku menyambutku. Dengan mengajakku senyum dan bersalaman. Itu kata orang-orang di situ, tetapi sungguh aku hanya melihat seorang perempuan, karyawatiku, tergolek lemas di atas tempat tidur. Tapi memang, sepasang matanya, merah dan tajam, menatap ke arah mana saja sesukanya.

Anak kecil perempuan, begitu mengenalku. Seperti pengakuannya, ia selama ini bermukim di salah satu kamar toilet di tempat kerjaku, maka jelas dia sangat mengenalku. Bahkan beberapa kalimat pujian untukku terlontar dari mulut karyawatiku. Ah, pujian dari dunia lain, desisku dalam hati. Sudahlah, sebaiknya kau kembali ke tempatmu. Biarkan karyawatiku kembali menjalani hari-harinya kembali dengan sehat.

Seorang kyai yang dijemput suaminya, telah datang. Upacara pun langsung dilaksanakan. Sebuah ingkung ayam dan makanan lain, lengkap, disajikan. Lalu doa-doa didaraskan. Aku menangis melihat semua peristiwa ini. Entah sebabnya.
Di tengah perjalanan doa, tiba-tiba karyawatiku terbangun, dan teriak menyebut nama Tuhan. Dia telah kembali, desis kakak perempuannya. Dan pelan-pelan ia ikut berdoa bersama kami. Anak kecil, perempuan, telah rela melepas, dan mengembalikan karyawatiku seperti sedia kala.

Dia menatapku, lalu tiba-tiba menangis, dan mengulurkan tangannya meminta maaf kepadaku. Aku tak mengerti, tapi aku menerimanya, dan menguatkan dirinya bahwa semua beban telah lepas. Hendaklah kuat dan kembali hidup.
(aj)

02/05/12

Njawa Teater on RADAR KUDUS


Profil Singkat NJAWA TEATER

Njawa Teater Pentas Keliling DHEMIT

Setelah singgah dan berpentas di halaman Balai Desa Cranggang, Dawe (21 April 2012) dan Pendapa Ambarawa (28 April 2012), Njawa Teater masih akan melanjutkan pentas kelilingnya di beberapa tempat lagi, yakni di Jepara, Demak dan Salatiga.

Pentas keliling ke beberapa tempat oleh Njawa Teater pada tahun ini mengusung lakon Dhemit, yang merupakan naskah karya Heru Kesawa Murti, dengan olah penggarapan disutradarai oleh Asa Jatmiko ini mendasarkan diri pada keinginan untuk “bali ndesa”. Hadir di tengah-tengah warga masyarakat, dan berbagai kalangan, untuk menjalin komunikasi yang semesra-mesranya. Ini merupakan tetirah, atas keprihatinan kita melihat bagaimana peran teknologi informasi belakangan ini telah menjadi ‘dhemit’ yang sesungguhnya bagi masyarakat kita. Ia telah memperalat hingga meninabobokan kita semua, sehingga hubungan mesra antar-personal di dalam keluarga dan masyarakat semakin pincang.

Para pemain dan pendukung pentas Dhemit, antara lain: Sutrimo, Charis Rohman, Purna Irawan, Aconk Tea, Mas Rien, Saga Veho, Aniek Puspita, Eifan Evangelista, Soulya Veho dengan pimpinan produksi Heru Nugroho. Persiapan telah dilakukan selama 5 bulan belakangan ini, dengan tempat berlatih di kantin sebuah sekolah menengah di Kudus. Para personel Njawa Teater sebenarnya merupakan orang-orang lama, yang telah berulangkali berpentas, meski dengan nama komunitas yang berbeda. Di dalam komunitas Njawa Teater ini, mereka semakin memantapkan diri sebagai aktor-aktor yang terus mencari dan menggali kreativitas tanpa tersekat oleh batasan-batsan apapun.

Semangat kami adalah semangat miskin, demikian menurut asisten sutradara Njawa Teater, Sutrimo. Dengan tempat berlatih yang masih ‘nunut’, dengan peralatan artistik yang apa adanya, tetapi selalu berusaha untuk tidak merasa terbatasi di dalam kreativitas.

Pementasan mendatang, 05 Mei 2012, bertempat di sebuah Taman Baca, Jepara, merupakan tempat kreatif yang dikembangkan oleh seniman Asyari Muhammad. Seperti pada pementasan-pementasan sebelumnya, pada setiap awal pertunjukan akan didahului oleh penampilan pembuka pembacaan oleh Adhitia Armitrianto dari Semarang, Asa Jatmiko dari Kudus dan penampilan dari seniman tuan rumah. Setelah itu, Dhemit akan menyambangi SMP Keluarga Kudus (19 Mei), Demak (02 Juni) dan Teater Getar STAIN Salatiga (09 Juni). Sementara pementasan di Universitas Muria Kudus sedang dalam pengaturan jadwal. (aj)



SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA

  SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA Kau terlebih dulu ada Sebagai saudara tua yang setia Kau terlebih dulu berada di sini Siang malam diam-diam ...