02/01/14

Lebih Nyala dari Api

*) ini dua buah sajak yang aku tulis di tahun 2007, ketika 3 anak SD Kanisius datang dan meminta padaku untuk menuliskan puisi buat seorang gurunya.

Lebih Nyala dari Api

Tiada sesuatu pun kekal, kecuali hidup yang tumbuh
Hujan dan matahari mewariskan lengkung pelangi
Lalu terkaca di dalam benak:
Kenangan dan perasaan
Karena dunia menjelma indah dalam terang akal budi

Tak terhitung:
Berapa kuncup bunga telah mekar
Karena curahan air cinta Bapak-Ibu Guru
Tak akan terlacak:
Berapa kilometer kaki-kaki telah melangkah
Mengembara menuju dunia baru
Karena tongkat pedoman yang Bapak-Ibu guru arahkan

Dari nol ke sembilan
Kau tak hanya ajari kami membilang
Tapi juga kedewasaan dan rencana masa depan

Dari A hingga Z
Kau tak hanya buat kami pintar membaca
Tapi juga tata krama, dan keindahan
Dan bagaimana arif menjalani kehidupan

Tiada sesuatu pun kekal, kecuali hidup yang tumbuh
Sang waktu telah menggendong kita
Usia demi usia lewat tanpa terasa
Tapi ini bukanlah perpisahan
Ketika Bapak-Ibu Guru tak kan lagi berada di antara kami
Ini adalah hidup yang terus tumbuh
Mengantar kita masing-masing ke tempat tujuan
Dimana hujan dan matahari mewariskan pelangi
Di dunia pendidikan

Jangan tanya pada kami
Apakah hati tak kehilangan
Jangan tanya pada kami
Apakah benak tak gelisah
Jangan tanya pada kami
Apakah jantung tak tergetar
Karena Bapak-Ibu Guru lebih terang dari cahaya
Lebih nyala dari api
Karena itulah Bapak-Ibu guru akan tetap hidup
Dalam sanubari kami.

-2007-



Itu Semata Karenamu


Suatu hari jika suaraku terdengar lantang
Membahana di angkasa
Itu semata-mata karenamu

Suatu hari jika laguku terdengar merdu
Menghias langit biru
Itu semata-mata karenamu

Suatu hari jika namaku tertulis besar
Di antara nama-nama para tokoh dan ahli fisika
Itu juga semata-mata karenamu

Dan suatu hari jika semua orang melihatku terbang
Di atas sawah, ladang dan kampung halaman
Dengan seikat senyum ramah
Bertas pinggang berisi ilmu alam
Membangunkan matahari dari tidur malam
Aku pun tak menyangsikan
Semua itu semata-mata karenamu

Di jiwa dan ragaku
Terhampar tanah kosong
Yang rindu ditumbuhi berbagai pohon pengetahuan.


2007.

01/01/14

Beberapa Sajak "Pertarungan Hidup Mati" Asa Jatmiko

DO'A SEEKOR PRENJAK


Ya Tuhan, Yayangku.
sebagai seekor prenjak yang binal
aku tak ingin bertengger di tangan
juga tak mau hanya berpeluk di dada

aku mesti terangsang dan birahi
aku mesti kian gila jatuh cinta
maka pintaku cuma satu
biarkan aku bersarang di jembut-Mu

milik-Mu paling rahasia
milik-Mu paling rahasia
disitu Kau punya acara pribadi
disitu Kau punya privasi

karena apabila semua itu tak terjadi
apalah guna aku Kau cintai
akulah prenjak yang sendiri
maka di jembut-Mu aku berseru;
perkosalah aku, Yayangku!
atau kupotong kontholku?!!


(Bukit Jati, '99)

ENGKAU LEMPAR BATU, AIR PUN BERPENDARAN


dan kita pun kepingin menuruni bukit itu meski tanah begitu renyah berguguran bagai dua anak ayam, lari-hilang dan muncul lagi dari balik rerimbunan melewati satu dua pohon jati yang mulai ranggas secepat itu waktu bergegas menyeret musim demi musim hingga akhirnya kita sampai di bibir sungai ini sebagai air dan batu kali

engkau melempar batu dan air pun berpendaran sebelum kita duduk dan memperhatikan suara riak riak seperti meneriakkan pertanyaan pertanyaan serupa ''Adam dan Eva tak lagi bercinta mengapa kalian datang membawa wajah mereka?''

kita pun sesungguhnya tak pernah bisa mengerti mengapa kita bertemu saat ini setelah lonceng muara berdentangan setelah sama sama melewati barak barak pengungsian setelah merasa diri, cinta sudah tak ada lagi

engkau melempar batu sebagai air aku pun berpendaran lalu menyatu di dalam keheningan meski kita pun sama sama tak tahu sampai kapan kita bisa mempertahankan

Tepi Sungai Progo, 2000

Sumber: Republika Minggu, 30 April 2000


ENGKAU MENJADI SAJAK, pertama


Teja menetes. Lagu nurani yang rindu pada mata.
Menyeruap ke segenap leleran darah yang hidup.
Begitulah kita memulai pengembaraan ini, Suksma.

Teja menghilang. Membasahi dan membasuhi laku.
Hingga tak rasa di tubuh ini telah ngalir darah.
Begitulah kita akan mengakhiri semua ini, Suksma.


Bukit Jati, 99


ENGKAU MENJADI SAJAK, kedua


Tetapi benarkah engkau yang hadir ke penjara.
Menyuapkan remah remah roti ke mulut kegagalan.
Suksma. Angin yang menari di atas daun jati.
Berhentilah kita menciptakan teka teki.

Tetapi benarkah engkau yang kemudian disini.
Membakar masa lalu dengan api masa depan.
Suksma. Bergetaran ranting memendam dingin.
Terpidana itu pun renggut ke dadamu terdalam.


Bukit Jati, 99

SEPERTI BERINGIN PAKUALAMAN


seperti beringan itu keangkuhan berdiri dan kita bersembunyi di antara gerai akar yang memamerkan keindahan sunyi

kenapa kita mampir di sini padahal rembulan telah terbakar sore tadi daun daun berjelaga karenanya dan angin semakin enggan menyapa lantas kepada siapa kita akan bercerita?

kenapa kita mampir di sini jadah bakar tak lagi menarik hati sementara musisi itu terus saja bernyanyi lagunya tak pernah bisa kita mengerti lantas kapan kita akan saling berbagi?

seperti gelaran tikar di trotoar kita duduk di atasnya membuka mata kenangan juga pembicaraan yang seringkali memabukkan tetapi keangkuhan tetap berdiri meski tak ada lagi yang sedia mempersaksi

angin basah merayap melintas di depan kita ketika aku meneguk sisa kopi yang terakhir dan engkau tiba tiba memelukku ''temani aku sesaat lagi,'' tapi malam telah menggelapkan wajahmu dan rembulan telah terbakar sore tadi untuk apa lagi kebersamaan ini?

Pakualaman, 2000

Sumber:
Republika Online edisi : 08 Aug 1999

SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA

  SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA Kau terlebih dulu ada Sebagai saudara tua yang setia Kau terlebih dulu berada di sini Siang malam diam-diam ...