-satu-
Sebuah kota. Sebuah komunitas. Dimana sebagian besar penghuninya bermata-pencaharian sebagai buruh. Sebuah komunitas yang penuh keringat, bau kecut, umpatan kasar, protes kenaikan upah, bonus mobil sedan, Tunjangan Hari Raya, pemutusan hubungan kerja, sering pula cucuran air mata, darah, yang tidak semuanya didasari atas nama kemanusiaan.
Atas nama kepentingan. Siapa membela siapa. Siapa memangsa siapa. Hanya sebagian kecil saja yang berlaga atas nama cinta dan perjuangan. Satu persatu tersebar dan tercecer di aspal jalanan, seperti musim gugur bunga-bunga tanjung (mimusops elengi) minggu ini.
Karena selalu dan akan selalu ada. Meski selalu dibersihkan dan akan selalu dibersihkan. Dan ingat, mereka jua yang selalu luput dari perhatian, dan selalu mereka dibersihkan. Hingga kita melihatnya bersih kembali saat kita berangkat ke pabrik esok hari.
Kita akan menyebut kota itu Kudus atau Al Kudus. Sembari menziarahi hadiah berujud batu yang berasal dari Baitul Makdis, pemberian dari seorang Amir kepada Sunan Kudus yang telah berjasa meredakan penyakit sewaktu menuntut ilmu di tanah Arab. Maka sebagai peringatan, dimana Sunan Kudus hidup dan bertempat tinggal diberilah nama kota itu, Kudus.
Kehidupan mulai bangkit seusai subuh. Kau bisa lihat, sejak saat itu di setiap ruas jalan mulai dialiri puluhan hingga ratusan buruh yang sebagian besar perempuan. Ada yang bergerombol di seberang jalan menunggu mobil angkutan mereka menjemput. Ada yang cukup dengan berjalan kaki, karena rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Tetapi lebih banyak yang bersepeda. Dengan menggenggam topi seragam pabrik mereka masing-masing.
Sementara sepeda motor dan mobil akan mulai berkeliaran di jalan seusai mereka masuk ke dalam barak-barak pabrik. Mereka adalah para pegawai negeri, anak-anak sekolah, para usahawan kecil dan pramuniaga di supermarket, kaum pedagang dan orang-orang yang lebih umum lainnya. Bersamaan satu persatu lampu-lampu kota mulai dipadamkan, para polisi berjaga di setiap persimpangan atau cuma sekedar membaca koran di atas sepeda motornya. Dan pintu-pintu kios pertokoan mulai berkeriut membuka.
Sepanjang tepi jalan, terasa sejuk oleh jajaran pohon-pohon tanjung. Kalau pun terasa sedikit panas, itu lebih disebabkan oleh umpatan kasar tukang becak dengan sopir angkot yang berebut penumpang, atau makian sopir tronton yang nyaris menyerempet penyeberang yang sudah pucat-pasi karena nyawanya nyaris tersangkut box.
Tetapi tak ada yang jatuh menyerah. Semenjak pagi dan setiap semenjak pagi, rejeki telah dibagi adil menurut porsi dan jatah masing-masing. Berkah dari kota kecil yang ber-Menara Kudus. Maka para pengemis mulai berkemas di gubuk-gubuk mereka, merasa berhak juga untuk turut menerima jatah rejeki meski atas nama kemalangan yang terbungkus kemalasan.
Tak terkecuali Srinthil. Ia berangkat dari rumahnya di lereng gunung Muria, duduk di sebuah mobil angkot, lalu membaur bersama teman-temannya memasuki pintu gerbang pabrik. Tapi di sebuah perempatan kota, tiba-tiba ia membayar ongkos lalu turun dan berjalan ke arah selatan. Bukan ke arah pabriknya. Teman-temannya bertanya. Srinthil hanya menggeleng.
Ke Selatan. Ke arah yang menjauh dari pabrik. Juga rumahnya. Ke sebuah tempat dimana Srinthil suka mencurahkan isi hatinya.
Sebuah bukit kecil di pingir kota. Udaranya sejuk dengan seribu pohon randu dan jati di kanan-kiri jalan setapak yang menanjak. Dua tiga burung kecil, yang tak sempat diperhatikannya, bercericit, meloncat di atas dahan-dahan dan terbang entah kemana. Keriuhan bunyi knalpot sudah tak terdengar lagi. Keringat Srinthil mulai menetes membasahi dari dahi dan punggungnya. Lalu ia membuka satu kancing bajunya untuk membiarkan udara segar menelusup menyegarkan raganya.
Dari sini ia melihat hampir seluruh kota. Sungai yang membelah kota, yang lebih mengesankan sebagai seekor ular besar yang tengah mengintai mangsa. Kompleks-kompleks pabrik rokok yang atapnya putih berkilat membiaskan cahaya ke angkasa. Dan jalan-jalan bagai selendang bertabur kendaraan-kendaraan bagaikan semut-semut yang hilir-mudik menjumputi remah-remah rejeki. Dan di salah satu tempat, tak jauh dari sebuah perempatan, sebatang pohon jati besar yang dibiarkan tumbuh di depan pabriknya, meski terlihat bagai rimbun rumput, di sanalah ia semestinya saat ini berada. Menggiling batang-demi batang rokok sambil menertawakan nasib bersama kawan-kawannya. Di bawah batang pohon jati yang sudah renta itu, seharusnya ia saat ini menikmati segelas es campur buatan Pak Diman dan beberapa tempe goreng sebagai pengganjal perut. Di sana, semestinya saat ini ia, memperhatikan senyum Ross yang mempesona. Srinthil tiba-tiba tersadar ia telah tersenyum sendiri.
Ia menjadi heran sendiri dengan kesukaannya sekarang, menyendiri di tempat itu. Ini kesukaan yang ganjil bagi perempuan desa seperti Srinthil. Ini gara-gara Ross! Kenapa ia pernah diajak ke tempat seperti ini untuk tidak melakukan apa-apa, kecuali melihat kota yang terhampar di bawahnya, lalu diam dan membiarkan perasaan terbang bagai burung-burung kecil: dari dahan ke dahan lalu ke entah.
"Mau apa kemari?" tanya Srinthil waktu itu.
"Tidak mau apa-apa. Sesekali kita perlu menghirup nafas segar, kan? Dan, siapa tahu di sini orang menemukan beberapa jawaban bagi hidupnya." jawab Ross.
"Ah...aku nggak ngerti omonganmu...?"
Ross hanya tertawa kecil. Mereka lalu duduk di atas sebuah batu yang cukup besar. Sesekali Srinthil mengembalikan letak rambutnya yang tersapu angin. Tidak mau apa-apa..., Srinthil benar-benar tidak mengerti maksudnya.
"Hai...!!" tiba-tiba Ross berteriak.
Srinthil terkejut. "Kamu pangil siapa, Ross?"
"Aku hanya ingin teriak saja... Kau harus mencobanya!"
"Teriak?!"
Ross mengangguk.
"Hehehe...nggak lucu, ah!"
"Hei, coba dulu...."
"Enggak ah! Kayak orang gila saja!" kata Srinthil.
Tiba-tiba Ross menggelitiki punggung Srinthil. Mula pelan. Srinthil merasa tertawa geli. Rupanya Ross tak berhenti. Sontak Srinthil pun teriak karena tak tahan, "Hei..., sudah!Sudah!!"
"Nah, begitu!!"
"Aku teriak karena kamu begitu!!"
"Coba kamu teriak lebih keras lagi!" suruh Ross.
Spontan Srinthil teriak: "Tidak!!" Lalu Srinthil melihat Ross yang tertawa.
Mungkin Srinthil sedang tidak punya masalah. Atau punya masalah tapi tidak begitu besar. Tapi setelah teriak lepas, dadanya merasa lega. Hanya itu yang ia rasakan. Dan ia ingat sampai kini. Tapi, ia berpikir lagi jika ia ingin teriak sekarang. Jangan-jangan ada orang yang melihat, atau cuma mendengar di kejauhan. Wah, gawat! Bisa disangka orang gila!
Mungkin akan lain ceritanya, kalau saat ini Ross ada di sampingnya. Ia pasti sudah dari tadi berteriak-teriak, bahkan melebihi orang gila. Bagaimana tidak, beban pikiran yang mengganggu sudah terlampau berat ia rasakan. Ia akan berteriak-teriak melepaskan sekat yang mengganggu nafas kehidupannya selama ini, dan tak akan merasa sayang untuk menghabiskan suaranya.
Tapi tak ada. Srinthil hanya sendiri. Bahkan ia merasa sedari tadi tak ada satu pun orang melewati jalan setapak itu. Matanya mulai nanar melihat kota. Perasaannya mulai gusar melihat kota. Ah, mengapa aku harus menghadapi kenyataan yang sulit, desis Srinthil.
Langganan:
Postingan (Atom)
SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA
SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA Kau terlebih dulu ada Sebagai saudara tua yang setia Kau terlebih dulu berada di sini Siang malam diam-diam ...
-
Oleh. Sutrimo Banyak orang mengenal Kudus sebagai Kota Wali, atau juga Kota Kretek. Namun bukan itu saja, di sisi lain, Kudus juga banya...
-
Mengenal Lebih Dekat dengan Kelompok Terbang Papat Assalafiyyah. Di sebuah dukuh yang bernama Karang Wetan yang menjadi bagian dari Desa ...