Sajak ini saya bacakan untuk pertama kalinya, pada 25 Agustus 2017, di depan teman-teman dan para santri di MA SALAFIYAH, Pati. Kemudian saya bacakan kembali di depan para pemuda Katolik (OMK) serayon Pati pada malam berikutnya (26/8) di Balai Budaya Rejosari.
Asa Jatmiko
DALAM GERBONG KERETA
Kemana saja kita selama ini?
Menjadi penyair yang bersajak anggur dan rembulan?
Menjadi politisi yang berorasi demi tahta dan mahkota?
Menjadi ulama yang berkhotbah atas nama jubah?
Menjadi seniman yang tiap hari ke salon untuk rambutnya yang gondrong?
Menjadi guru yang selalu lupa mengabsensi muridnya?
Menjadi pemuda yang sibuk dengan pacarpacarnya?
Kemana saja kita selama ini?
Gerbong kereta Indonesia melaju tak terkendali
di atas rel yang tak seirama
Masinisnya telah mati terbunuh di perempatan reformasi
Para kondekturnya mabok di sudutsudut gerbong
mereka bergoyang pantura
hingga lupa dadanya telah terbuka
wudelnya bodong nodong kemanamana
mulutnya penuh uang saweran
'Tutupen botolmu, tutupen oplosanmu,
Emanen nyawamu,
Aja mbok terus-teruske
Mergane, ora ana gunane..."
Hendak kemanakah kita?
Rel kereta lurus dan panjang
Menjalar di sepanjang tepi pantai,
melingkari perbukitan
Lalu hilang dalam kegelapan
Larut dalam hening yang dalam
Suara kelelawar terjepit di antara bebatuan
Tak ada bulan. Tak ada bulan.
Anjing menggonggong di kejauhan.
Jubah mahadewa berkelebat dan hilang.
Kereta terus bergerak
Berderakderak
Di gerbong kereta nomor dua
Seorang lelaki muda blingsatan
Tangannya mencengkeram perutnya
Keringat bercucuran dari keningnya
Lehernya
Tubuhnya terguling bergulung menggulung
"Aaahh!"
Tibatiba berhenti, kepalanya membentur tiang besi
Orangorang melihatnya
Merubungnya
Bergumam dan berbicara meyakinkan dirinya sendiri
"Dia sakit?"
"Ah, cari perhatian saja!"
"Mulutnya berbusa. Ayan?!"
Seseorang mendekati lelaki muda yang terkapar itu
"Hei, jangan! Nanti kamu ketularan!"
"Dia perlu pertolongan!"
"Nggak!"
"Nanti juga sembuh. Itu cuma sakit perut!"
"Kamu sakit?"
"He, wiswis! Rausah dirubung! Sumuk!
"Dasar ndeso!"
"Bubar! Bubar!!"
Satu persatu kembali ke tempat duduknya.
Terdengar roda besi gemeretak di bantalan rel
Gerbonggerbong nggloyor terhuyunghuyung
Kepalanya berdarah
Di luar, malam terbelah
Angin santer melumat nasibnya.
Seorang lelaki bertubuh tambun melek dari tidurnya
Gegara disikut perempuan yang duduk di sampingnya
Ia tak bertanya mengapa kepalanya disikutnya
Ia tahu kepalanya tlah nyangkut ke buah dadanya
"Tidur itu yang sopan!
Sudah ndak sopan, ngorok pula!
Suara kereta sudah terdengar seperti gasing
Tambah dengkurmu nambah bising!
Minggir!!”
Mendengar keributan
anaknya di pangkuan terbangun
Usianya lima 5 tahun
"Sudah sampai mana, Ma?"
Di luar kereta
gelap telah beberapa lama menyergap.
Ia mendekat ke jendela kaca
Terlihat bayangan wajahnya
Rasa takut datang tibatiba
Lalu perlahan ia menarik wajahnya
"Sudah, jangan ribut.
Tidak usah banyak tanya."
Perempuan itu mengambil android dari tasnya.
"Nih, kamu mainan game saja."
Lelaki yang disikut kepalanya,
kembali dari wc kereta
Bau pesingnya masih ngikut di belakangnya.
Perempuan itu menutup hidungnya.
"Wah, itu game gampang.
Kalau gampang, ndak menarik.
Sini, om carikan game yang asyik!"
"Yee!! Ini bagus, Om!
Sini, aku saja yang main.
Nah, aku pinter kan, Om?!
Aku pinter, kan?”
Tak lama, anak itu sudah terbenam dalam permainan
Dunia yang tak dikenalnya
Tapi dunia yang menjadikannya seolah hero
Dunia yang selalu memberinya hadiah kesombongan
Dunia yang seolah dekat,
tapi tak pernah menjadi pengalamannya
Dunia yang merangsangnya untuk menang
Sekaligus merangsangnya blingsatan kecanduan.
Larut dalam hening yang dalam
Suara kelelawar terjepit di antara bebatuan
Tak ada bulan. Tak ada bulan.
Anjing menggonggong di kejauhan.
Jubah mahadewa berkelebat lalu hilang.
Di gerbong kereta ketiga
Orangorang baru terbangun dari tidur
Mereka telah tidur berjamjam
Karena perjalanan yang menjenuhkan
Hanya setengah jam saja,
duduk di bangku kereta,
Lalu tertidur membawa mimpi masingmasing.
Berdiri seorang lelaki
Badannya tegap dan tinggi
Sambil berjalan di lorong di antara penumpang,
ia berbicara:
"Kawan-kawan semuanya,
Stasiun tujuan kita masih jauh
Perjalanan kita masih lama
Tetapi kita tidak boleh lena
Harus selalu waspada
Karena inilah perang sesungguhnya."
"Periksa semua barang bawaan kalian
Isi dompet, saku celana dan juga tas ransel kalian.
Kita harus waspada
Karena kita tidak tahu pencopet beraksi
Jangan sampai kita sadar saat kita sudah kehilangan."
"Kita adalah satu
Ikatan kita kuat
Lihatlah kita telah nampak sama
Dari celana dan warna baju
Hingga cita-cita masa depan: Sama.
Kita bergerak bersama
Karena dengan bersama,
cita-cita akan mudah tercapai."
Orangorang memeriksa saku baju dan dompetnya
Memeriksa rambut dan wajahnya
Memeriksa tangan dan lehernya
Dan setelah semua merasa nampak sama
Giranglah mereka
Bersoraklah mereka
Sementara besi dan besi bergandengan
Besi dan besi bertumbukan
Besi dan besi berhimpitan
Besi dan besi bertabrakan
Tibatiba lampu di dalam gerbong padam
Laju kereta berjalan tersendat
Beberapa detik tanpa suara
Gelap
Roda-roda besi memercikkan bunga api
Lalu di detik berikutnya pecahlah keriuhan
Orangorang berhamburan di dalam gerbong
Ruangan penuh teriakan
Di selaselanya terdengar jeritan
Lalu tangisan.
Di belakang pintu yang rusak
Seseorang tergencet
Tapi tak ada yang mendengar
Sayupsayup ia mengerang mengaduh kesakitan.
"Hai! Ada orang tergencet di pintu!
Semua diam!
Tolong semua berhenti!"
Orangorang berhenti sebentar,
menoleh kepadanya
Menatap saja
Kemudian bergegas lari dan kembali menghambur.
Kembali pada keriuhan.
"Kita satu, bukan?
Satu gerbong
Satu citacita
Kita sama, bukan?
Dalam gerbong yang sama
Untuk citacita yang sama!"
Beberapa orang akhirnya mendekat
Menyalakan lampu dari hape-nya
"Dia pencopet!
Biar saja mati
Hidupnya hanya bikin resah orang lain!"
Kereta masih jalan
Meskipun pelan
Suara dari patahan rel yang terlindas
Seperti suara air masak di atas tungku raksasa
Di gerbong keempat
Beberapa orang berbincang
Sambil matanya memeriksa ke sekitar
Seperti tak ingin orang lain dengar.
"Sudah kau selesaikan tugasmu
Sekarang tinggal bagianku.
Para kondektur yang mabok itu
Akan segera berada memihak kita.
Aku yang akan mengatur segalanya
Kalian tinggal tunggu di sini
Menikmati laju kereta
Sambil menantikan kemenangan
Yang sudah di depan mata.
Setuju?!"
Namun masih ada keraguan di antara mereka
Sulit untuk meyakinkan para kondektur
Sulit untuk membuat mereka takluk begitu saja
"Borok mereka adalah senjata kita
Keangkuhan mereka adalah granat kita
Cukup mudah buat kita:
Cukup arahkan senjata
Tepat di kepala mereka."
Larut dalam hening yang dalam
Suara kelelawar terjepit di antara bebatuan
Tak ada bulan. Tak ada bulan.
Anjing menggonggong di kejauhan.
Jubah mahadewa berkelebat dan hilang.
Sementara di dalam gerbong kelima
Gerbong paling sunyi
Gerbong paling diam
Gerbong neraka bagi pencari keadilan
Semua tempat duduk terisi
Wajahwajah penuh amarah yang ditahan
Wajahwajah pongah yang menyimpan uang haram
Anakanaknya berwajah dekil, perutnya busung lapar
Wajahwajah yang tak jua selesai dengan urusan pribadinya
Wajahwajah yang tak berani bertanya
untuk apa mereka dibawa
Untuk apa perjalanan selama ini.
Hendak kemanakah kita
Menempuh perjalanan ini
Bertemu dalam satu kereta
Suara kelelawar yang terjepit bebatuan
Makin banter terdengar
Rupanya ia telah berhasil lepas
dari jeratan akar di batuan
Ia melintas di atas gerbong kereta
Kibasan sayapnya terdengar menembus kacakaca jendela
Di lehernya berkalung lempeng perisai
Berkerlipan bercahaya
Lalu pada kibasan terakhir,
sayapnya tersangkut engsel sambungan kereta
ia terjerembab,
jatuh tak ada lagi yang tersisa,
kecuali sorot matanya.
Seorang anak kecil, lima tahun
Melihat semuanya
Lalu berjalan ke arahnya
Memecahkan kaca pintu
Memanjatnya
Lalu menghampirinya.
Kereta masih bergerak
Berderitderit
Berdarahdarah
Tibatiba terdengar ia bersuara:
"Kita punya kesadaran
Kita punya kepahaman
Kita tidak butuh teori."
Anak kecil itu seperti meyakinkan dirinya
"Hai, aku mengenalmu.
Ya, aku mengenalimu.
Ya, kamu yang sering aku hapalkan.
Kata mereka, kamu kelelawar,
Nyatanya kamu bukan.
Dan sama sekali bukan seperti yang mereka katakan.”
"Iya. Benar."
"Ini perisai emas!
Ada gambar bintang
Rantai
Pohon Beringin
Padi dan Kapas
Kepala Banteng
Ini gambargambar kesukaanku.
Semua ini ada di kampung halamanku."
"Iya. Benar.
Katakan kepada mereka,
aku bukan Tuhan
Aku bukan mahadewa.
Aku bukan di awanguwung.
"Aku seharusnya ada di hati
Di tangan dan kaki
Di pikiran
Di perkataan."
Larut dalam hening yang dalam
Suara kelelawar terjepit di antara bebatuan
Tak ada bulan. Tak ada bulan.
Anjing menggonggong di kejauhan.
Jubah mahadewa berkelebat dan hilang.
Kudus, Agustus 2017
*) meminjam istilah Rendra: "penyair yang bersajak tentang anggur dan rembulan."
Langganan:
Postingan (Atom)
SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA
SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA Kau terlebih dulu ada Sebagai saudara tua yang setia Kau terlebih dulu berada di sini Siang malam diam-diam ...
-
Oleh. Sutrimo Banyak orang mengenal Kudus sebagai Kota Wali, atau juga Kota Kretek. Namun bukan itu saja, di sisi lain, Kudus juga banya...
-
Mengenal Lebih Dekat dengan Kelompok Terbang Papat Assalafiyyah. Di sebuah dukuh yang bernama Karang Wetan yang menjadi bagian dari Desa ...