07/03/09

Kembali Bersajak

Malam ini, Sabtu (07 Maret 2009), aku kembali membaca puisi. Pada sebuah forum perpisahan KKN para mahasiswa Universitas Muria Kudus dengan warga Desa Wates, Undaan, Kudus, dengan berlokasi di Balai Desa.

Rasa-rasanya sudah terlalu lama aku sudah tidak membaca sajak. Terakhir baca sajak adalah saat Rendra berorasi di Auditorium UMK dalam Gelar Budaya yang diselenggarakan BEM UMK. Aku tampil sebagai penyair tuan rumah.

Setelah itu, aku larut dalam 'kesibukanku' sendiri. Kesibukan yang lebih berarti pada keruwetan, antara pekerjaanku sehari-hari sebagai buruh, persoalan Teater 76 yang akhirnya menyeret aku ke dalam sebuah sumur kematian, juga benak yang selalu berisi Veho. Di samping tentu masalahku pribadi, soal-soal rutin mengenai ekonomi keluarga yang tak kunjung beranjak membaik.


Malam ini aku kembali membuka buku Pertarungan Hidup Mati. Karena setelah membolak-balik sajak-sajakku yang baru, rasanya mentah semua. Di sela jepitan buku-buku, aku menemukanya, sebagai satu-satunya buku puisi yang aku miliki. Dan mulailah aku membukanya kembali, untuk mencoba mencari beberapa puisi yang pas untuk aku baca malam ini.

Tanpa sadar, ia membawaku pada pertarungan-pertarungan kepenyairanku, jauh pada 5 hingga 10 tahun yang lalu. Puisi demi puisi seakan mengantarkan aku pada peristiwa-peristiwa lampau, yang berdarah-darah sebagai penyair. Ini bukan seperti membuka luka lama, tapi aku mencium bau semangat perjuanganku sendiri. Sedikitnya justru aku merasa terhibur. Dan aku membiarkan Pertarungan Hidup Mati melayarkan satu demi satu perjuangan yang membanggakan itu.

Akhirnya aku memutuskan untuk mempersiapkan 3 sajak. Antifon Burung Pemantik Api, Lalu Yogya - Jakarta Suatu Senja dan terakhir Fragmentasi Ikan. Tiga buah sajak yang malam ini terasa benar mewakili perasaanku saat ini. Untuk itulah aku ingin membagikan perasaan itu. Dan aku berharap, penonton dapat menikmatinya.


Sisi lain, penjelajahanku di Pertarungan Hidup Mati malam ini telah membawa gairah baru bagi kepenyairanku sendiri. Jujur saja, belakangan ini aku dihantui rasa takut dan hilang kepercayaan diri untuk kembali menulis sajak-sajak. Sajak-sajak tak pernah terlahirkan, karena aku mematahkannya sendiri. Bahwa di sekitar kita telah lebih menarik dari sekedar puisi. Ah, itu hanya sebuah alibi untuk kemandulanku saja barangkali. Aku saja yang selama ini menjadi penyair kurang tekun untuk mencermati peristiwa-peristiwa puitik di sekelilingku.

Setelah sajak-sajak kubaca, yang lahir adalah sebuah lagu. Padahal Microsoft-Word pada layar sebenarnya telah kusiapkan, tapi sampai lama proses penciptaan itu tak jua terjadi. Ya, malam ini aku kembali bergairah untuk kembali bersajak, meskipun belum satu puisi pun aku tulis malam ini. Malah sebuah lagu "Daya", yang aku tulis, dan kurencanakan untuk Veho mengikuti LA Lights Indiefest 2009.

Ah, betapa kita sungguh tak mampu untuk mengendalikan gairah penciptaan kreatif itu.

salam,
-asa-

Tidak ada komentar:

SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA

  SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA Kau terlebih dulu ada Sebagai saudara tua yang setia Kau terlebih dulu berada di sini Siang malam diam-diam ...