06/11/10

Alienasi - Kumpulan Sajak



Untuk download, klik: Alienasi



Metamorfosa


kembali ke bilik sunyi
hingga desahnya menyentuh alis mata
menggetarkan gelap menjadi cahaya.


2002.




Intimidasi Ruang Sunyi


belajar untuk jauh, nyatanya justru terasa didekatkan
“you can run, but you can’t hide!” katamu bernyanyi
sembari onani, dan jutaan sperma merayapi dinding
sembari bersorak sorai, “kita telah dibebaskan!
kita telah bebas dari konthol!”
lalu dibiarkannya mereka tumbuh sebagai yang kehilangan

nyatanya memang tak bisa disembunyikan,
membiarkannya lepas justru menarik kita
untuk balik bergegas menghampiri.
kurang telanjang apa?
sekujur keindahan ini bakal lenyap
tak ada yang abadi selain kenangan

memburu sepanjang lorong dan meleleh seluas ruang ruang
dimana sunyi tiba tiba jadi bunyi
obrolan yang tersaji di etalase toko dan trotoar
karena seluas luas pandang kita hanya bersua
tangan tangan gemetar mendendam kemiskinan
dan sunyi, “cuh!” meludah ke mukaku.


2002.


Gemuruh Laut
Pro: T. Budi Santoso


laguku
mendesis di sela pucuk pucuk gerimis
kala tubuh terhempas
membuih dan pecah di pantai
habislah aku di sini; membangkai

lalu lagumu
menjamahku selembut lidah gelombang
dan kudengar gemuruh lautmu di kejauhan
memanggil memanggil
merengkuhku ke dalam pelukan

laut dan gemuruh
sepasang kekasih yang selalu bercinta
begitu pun hidup dan kerja
seperti melodiusmu saat itu


2002.



Puisi Kecil
Onnasan


ambil dayung, Nak
ayo kita melaut
biar kau kenal segala takut.


13 Februari 2002.



Malaikat Kecil


malaikat kecil di bola matamu
sempat ayunkan pedang
ke arahku

pada pejam matamu
kucium kening yang buram
sebagai peta rahasia


2002.




Deru Patah Patah


deru angin
deru angin
patah patah
aku dan istriku
mengembara
ke langit hitam
dan bintang
diam
berhenti
berkedip


2002.



Dua Baris
Innocen


engkau puisi
yang selalu gagal aku tulis


2006.




dunia pelacur



pernah, dan mungkin masih
di rembang petang
kerlap kerlip lampu disko
diiringi irama ndangdut dari tape recorder jangkrikan
bagai berpasang pasang mata
memanggil manggil
“hai asa, mampir dong!
kita ngobrol
bersama sebotol oplosan bir dan congyang
kacang dan tahu susur milikku
ketrampilan kecil hasil warisan ibuku
ibuku mewarisinya dari nenekku
jangan remehkan nenekku
ia selir seorang mantan bupati pesisir.”

begitulah aku terjerat
entah karena ia seorang perempuan
yang punya bibir merah dan bersusu montok
atau karena ia trampil memasak
atau karena ia cucu seorang selir
tapi nyatanya aku kini tertawan
apalagi siang yang aku maki maki
telah membakar tubuhku
menyayat nyayat kulitku
hingga bernanah
berdarah
bau amis kenyataan hidupku
tak bisa kututupi meski dengan cendana atau kasturi
meski pula dengan tata bahasa sekelas puisi
bahasaku telah kacau
hingga aku hanya mengenal engkau, pelacur
sebagai puisi terindah yang pernah kubaca.

“hai asa, mampir dong!
kita lanjutkan minum berdua!”
dan aku menatap matanya
betapa mengejutkan
semalam kulihat bercahaya
kini kulihat redup berjelaga
semalam engkau begitu muda
kini kulihat engkau begitu renta

aku pun mampir
dan mabok
ide ide di batok kepala
meluber dan ndledek membasahi celana
ah, betapa dunia begitu indah begitu sederhana.
aku pun tersampir di atas tubuhmu
dan menyerahkan ide ide besarku
ke dalam sebuah sumur kegagalan.

ketika aku menjamahmu
engkau seolah bernama cinta
kini saat aku berjarak denganmu
engkau seolah tak bernama apa apa
dan entah, aku seperti tersadar
ada yang telah hilang dari diriku
ada yang telah ia curi dari diriku
entahlah…


kudus, september 2006


Doa Kampung Halaman


ranting patah
ranting kering
daun yang menguning
air bergemericik
tanah tanah terbelah
berdebu
menyampaikan proklamasi virus
proklamasi virus
di padang kuruksetra
di medan peperangan
di ladang pembantaian
mereka telah pancang bendera
perang akal sehat dan logika
perang cuaca di musim kemarau
perang batin di tengah budaya galau
perang nurani di hidup yang gamang

kita telah banyak kehilangan
telah banyak kehilangan
telah lama kehilangan
telah jauh kehilangan
hingga kita musti merayap, merangkak, melata
hingga kita bersimpuh di atas genangan airmata
hanya untuk sebuah nilai cinta
untuk sebuah cita cita
untuk sebuah harmoni hidup
engkau – aku – kita – semua
tumbuh di lahan persemaian yang semestinya

pulang
pulanglah
ranting patah
kembali
kembalilah
ranting kering
ke sini
ke kampung halaman kita sendiri
berkumpul dan bersendau gurau kembali
dengan barongan yang gairah
dengan saron yang nyaring
dengan tangan penari yang gemulai
dengan ekspresi teater dan sastra yang murni
dengan lirikan kekasih yang aduhai
tanpa rekayasa
tanpa keinginan dan pamrih dipuja
mengalir dan mengairi sawah kehidupan
menghijau dengan bulir bernas-berisi
menghampar di belakang rumah kita
adalah masa depan kebudayaan yang sesungguhnya.

Amin.


Gelar Budaya Kudus, 25 Agustus 2006.



Kemenangan Sempurna



matahari pelan mendengkur, bersiap bangkit
kemenangan dan kemenangan kemarin
belumlah kemenangan yang sempurna

angin masih basah karena airmata
masih menggelayut, merajuk di ketiak daun
“kita sudahi saja kesedihan ini,” bisik sebatang ranting
seolah tak ingin larut dan terperosok di palung hening
lagi ia berbisik, “enyahlah airmata!”
kata ranting lainnya, “sebelum datang kekalahan berikutnya!”
dan sunyi membungkus perbincangan
semua tahu kekalahan tadi siang teramat menyakitkan

tak kan ada yang kita sisakan sedikit pun
semua kita tanggalkan bersamaan detik yang mengerjap
bahkan keindahan yang baru saja tercipta
bahkan kebaikan yang baru saja kita terima
bahkan prestasi yang baru saja kita raih
lepas saja
sebagaimana daun tanggal dari ranting
seperti saat menghirup udara dan menghembuskannya
menerima dan kehilangan sebagai kewajaran biasa
lalu langit merengkuh mereka
sebab tak lagi terdengar suara
seperti degup jantung yang tak terdengar degupnya
tapi kita meyakininya ada

“itu mendung!” teriak kuncup bunga
mendung terakhir di hari yang beranjak tua
dan setelah petir, langit berkata;
“kemarin hari ini dan esok aku pun masih sama.
yang tua yang tetap saja mau merengkuh kalian semua.
tapi kalian? sadarkah kalian saat tumbuh dan berangsur dewasa?”

semuanya menggeleng
“ada yang tetap, seperti aku seperti cinta seperti keabadian.
ada yang berubah, seperti kalian seperti raga seperti hati dan pikiran.
menjadi lebih baik di hari depan
adalah kemenangan yang sempurna.”

setelah itu langit kelabu oleh hujan.


2005.




Indonesia Sebuah Rumah
saat Indonesia 61 Tahun


sebelum kita pergi keluar
baiklah kita lihat dulu rumah kita
adakah kita lipa padamkan tungku ?
agar rumah tak terbakar saat kita di luar
sudahkah kita tutup jendela dan pintu pintu?
agar rumah yang kita cinta
terjaga dari pencuri yang bernafsu
lalu marilah kita keluar
mengucapkan ‘selamat pagi’ kepada embun
yang tersangkut di atas rerumputan
lalu memasrahkan rumah kepada yang tinggal

Indonesia adalah rumah kita
rumah yang kita cinta
meski di almari ada bluejeans Amerika
meski gantungan kuncinya bertuliskan ‘made in Korea
meski sajadah di mushola bikinan Turki
yang kita beli saat naik haji di Tanah Suci
dia tetap rumah kita Indonesia
yang reot dan megahnya terbuat dari jiwa kita

sebelum kita keluar
menyapa orang lain atau bahkan memakinya
karena hamper nyerempet kita di jalan
sudah bersihkah rumah jiwa
dari kebodohan menatap masa depan
dari kedunguan melihat penderitaan kawan
dari keserakahan harta benda


hingga kita terhenti di sini
dimana rumah kita tengah berduka
dihajar gempa
dilarung tsunami
disunat koruptor koruptor
dan kita saksikan manusia saling memangsa
homo homini lupus!!

ya Allah ya Robbi
bersihkan rumah kami

sebelum kita pergi dan menatap keluar
ada baiknya kita bersihkan rumah kita sendiri dulu
dengan kesabaran dan mata air cinta.


2006.



Relawan 5,9 Skala Richter


kami temui wajah wajah bergurat duka
sebab kehilangan saudara tercinta
di antara puing puing rumah mereka
tenda tenda darurat memelihara harapan
kami temui jiwa jiwa nyaris roboh pula
seperti daun kering dibawa kemana laju angin
dengan sorot mata yang memandang kosong
duka ini memang sangatlah berat disangga
bahkan tak terdengar sapa kleneng andong
yang biasanya merayap di antara gelak tawa
membelah ruas ruas jalan imogiri
yang mengantar peziarah ke makam raja raja

gedung gedung sekolah, masjid masjid dan gereja gereja
tak mungkin bisa dipakai lagi
temboknya hancur, berdiri miring, atapnya ambrol
namun siswa siswa mesti harus terus belajar
adzan harus pasti berkumandang
nyanyian misa dan kebaktian harus pasti didengungkan
rasa syukur dan pasrah akan kehabesaran Tuhan
tak boleh lumpuh atau mati di antara puing berserakan
meski menelusup dari bawah tenda apa adanya
meski beralas tanah dan rumput kering berdebu,
ini saatnya untuk kita mengakui
betapa kita sungguh tiada berdaya adanya

kami hadir bukan sebagai turis domestik yang eksotik
bukan sebagai peziarah yang ingin tampil simpatik
kami hadir sebagai rekan dan saudara
yang ingin membantu apa yang kami bisa,
menyapa dengan hati agar bisa tersenyum kembali
karena luka akibat gempa itu bukan terasa di tubuh saja
tetapi juga tembus ke relung relung hati
dan kami ingin jadi sederhana saja
ialah pemantik api semangat hidup
yang tak boleh meredup.


Jogja, Juni 2006



Kemana Lagi Kami Berlari Selain Pada-Mu
Didedikasikan untuk para korban bencana gempa tektonik di Jogja – Jateng
pada 27 Mei 2006, pkl 05.55”, dan anak anak negeri ini.

Angin gunung yang biasanya lembut,
mengabarkan deru lava pijar dari Merapi,
awan panas dan solfatara mengancam kami.
Berlarian kami, terbirit birit bagai kawanan kambing dikejar srigala,
mencari perlindungan, mencari tempat aman untuk sembunyi.

Dan saat sampai di sini, di barak barak pengungsian,
kami belum juga bisa tenang.
Sambil mengatur nafas yang tersengal,
berdebar jantung kami menghitung berapa saudara kami yang terkapar.

Kami kini seperti prajurit perang yang jiwanya dikejar kejar kerinduan,
dikejar kejar pikiran ketakpastian akan kampung halaman.
Mungkin pohon pohon pinus telah menjadi abu.
Mungkin sungai kami telah menjadi sungai batu.
Tapi mungkin juga akar jiwa kami yang telah lama tumbuh di sana,
masih mampu menumbuhkan tunas baru bagi kehidupan.

Nyatanya bukan itu kenyataan yang ada.
Di kedalaman 33 kilometer dari permukaan laut,
tepat di belakang rumah kami saat kami menyiapkan sarapan pagi,
gempa tektonik menggetarkan sepanjang pantai selatan jawa.
Dan nyali kami kembali berhamburan berantakan, berserakan di
antara jerit tangis, luka luka di kepala dan saudara kami yang tak lagi bernyawa.
Lima koma sembilan scala Richter dalam lima puluh tujuh detik,
waktu yang teramat singkat
untuk membenamkan lebih dari 6.234 nyawa saudara kami ke perut bumi.

Berlarian kami, terbirit birit bagai kawanan kambing dikejar srigala,
mencari perlindungan, mencari tempat aman untuk sembunyi.
Tiba tiba kami teringat Aceh, Nias, Lampung Selatan….
Kami teringat ratusan ribu saudara kami yang terenggut tsunami.
Kemana lagi kami akan berlari? Meniti lereng Merapi,
dimana lava pijar, awan panas dan solfatara
juga tengah mengintai kami?!
Angin pantai yang biasanya penuh semangat menderu,
mengapa jadi lesu seolah enggan menyapa?
Tegakah engkau mengabarkan amis darah,
bau mayat yang sore nanti mulai membusuk,
dan rasa lapar yang mulai tak mau berkompromi?
Kini kami seperti kawanan kambing yang tak bisa lagi berlari.
Srigala di seberang jalan, giginya bergemeretakan
menatap jalang pada kami.


Kemana lagi kami akan berlari?
Oo, semua arah seolah menyimpan rencana jahat bagi kami.
Kemana lagi kami akan berlari?
Oooo, dan tidak akan kemana jua lari kami
Selain hanya pada-Mu, Tuhan.
Hanya Engkau Yang Maha Besar di antara semuanya.
Ampunilah kami, ampunilah kami….
Ampunilah kami semuanya.
Amin.

Kudus, 02 Juni 2006



Tuhan, Inilah Komitmen Kami
Didedikasikan untuk para korban bencana gempa tektonik di Jogja – Jateng
pada 27 Mei 2006, pkl 05.55”, dan anak anak negeri ini.



Tuhan
Inilah komitment kami:
Betapapun derita dan bencana menggetarkan sendi sendi hidup kami
Betapapun pahit getir hari hari yang harus kami reguk
Sakit dan luka yang berulangkali memenuhi sekujur tubuh kami,
takkan mematikan jiwa kami untuk saling berpeluk
takkan melumpuhkan tekad kami untuk saling berbagi.
Karena mereka semua saudara kami
Karena kami semua selalu bersaudara.

Maka lapangkanlah jalan pengampunan-Mu,
untuk bangsa ini yang telah banyak berdosa, Tuhan.
Maka anugrahkanlah ridho-Mu untuk anak anak bangsa, Tuhan,
yang telah dengan tulus ikhlas memperjuangkan hidup kami semua.
Lihatlah kemegahan yang kami punya, Tuhan
Kami membalut seluruh jiwa raga dengan cinta.

Tuhan
Inilah komitmen kami
Tak ingin kami menari saat saudara kami menangis
Tak ingin kami bernyanyi saat saudara kami menjerit
Kami tak ingin luka itu semakin menganga
Karena mereka adalah saudara kami, Tuhan
Apa yang mereka rasa, terasa pula di jiwa kami.


Anak anak bangsa kini tengah berduka dan terluka
Apa yang bisa kami berikan; kami relakan
Apa yang bisa kami sumbangkan; kami ikhlaskan
Doa kami sepanjang malam; kembalilah mereka tersenyum dan bahagia.
Kami pasti malu jika kami hanya diam bisu
Tangan ini pasti bergetar, tergerak untuk membantumu.

Tuhan
Inilah komitmen kami:
Sehidup semati kami bersaudara
Lepaskanlah derita dan duka ini segera.


Kudus, 02 Januari 2006



Jiwa Merdeka


Ada saat kita terjatuh
Ada saat kita mesti berpeluh
Mari kita rajut setiap jengkal kegagalan
Lalu kita akan akrabi dunia
Dengan sepenuh syukur penuh anugrah.

Ada saat kita menangis
Ada saat pula angan mengeluh
Tapi matahari kesadaran
Akan jadikan semuanya terlihat nyata
Bahwa kita semua adalah saudara.

Menyatulah di sini dalam kehangatan
Sesungguhnya tiada seorang pun yang ingin sendiri
Bernyanyilah di atas tanah yang kita cinta
Dan betapa indah kita bisa berbagi rasa.


Kudus, Januari – Juni 2006



Pram Selamat Jalan!



tanah keras padas, jauh kelebat pelangi
telah tumbuhkan satu pohon Jati
keras padas mengawal perjuangan abadi
kutundukkan kepala, Tuhan telah memanggilnya
dari Blora ke Batavia
dari Buru hingga Jakarta
sunyi di nyanyi bisu bumi manusia
mengakar dalam jiwa anak bangsa
sepasang mata yang menatap-memberi cinta.



Kudus, 29 April 2006.




4 Km Sepi


4 km sepi
pohonan saling bercumbu
mereka tak ingin dunia
mereka hanya sepi dan bercinta
tapi dunia tak inginkan mereka
hidup terlalu lama
4 km sepi
pohonan dan aku
saling menatap penuh curiga.


Kudus, 2005.



Alienasi Burung Kecil


sesudah akad nikah
lalu dipapah tubuh mempelainya
untuk diikat di ranjangnya
ia bahkan tak lagi memiliki dirinya
ia tak lagi bernama aku
seperti dulu pernah aku mengenalnya.

ia disuapi pisang dan pepaya
untuk kicaunya yang mahal harganya.
tapi ia hanya seekor burung kecil
bahkan tak lebih besar dari seekor burung kecil
tak seperti dulu ia berani sebagai pemberontak;
jiwa yang paling ia suka.


Kudus, 2005.



Tuhanmu Hari Ini


terbaring tengkurap berlari merayap terusterang bersijingkat kamu tetap
bernama buruh, Marni, di atas meja makan di kamar tidur di plasa atau di WC
kamu tetap saja bernama buruh

seluruh harimu telah terbeli dengan perhitungan perhitungan yang tak bisa kau
pahami, karena kau di sini adalah keputusan kau masih di sini adalah rasa suka
majikan dan kau akan tersenyum menangis tertawa menjerit seturut inginku
karena maumu telah menjadi mauku

berteriak diam memberontak memihak sama sekali soal lain dengan
keputusanku, sama sekali bukanlah hal yang bisa bikin gentar tenggorokan,
kau adalah satu dari milyaran pasir pantai, Marni, karenanya aku berhak
menjadi tuhanmu dalam hidupmu hari ini.


Kudus, 2005.




Mutilasi



dia pun rebah dengan memar dan darah di sekujur tubuhnya
yang tercerai berai, tiang pancang bagi perahu tua
mereka pun mengenalnya, bau keringat sapi perah dan
tangan yang selalu basah

3 tahun aku mencangkulinya, ia diam saja, sakit adalah
imunisasi, lalu pada 1 minggu terakhir aku ikat
tangannya dan kujerat lehernya dengan 11 lilitan
kabel telepon

istrinya dan 1 anaknya keluar dari pelupuk matanya; dalam
gelembung biru dongker, aku merebahkannya dengan 2
tikaman sangkur tepat di dada kirinya karena sungguh
aku semata mata ingin menyelamatkannya

aku tak suka ia melihat waktu, meraba arah angin apalagi deru
mesin pabrik yang berisik, yang katanya lebih
memanggil manggil, dan ia seperti anak ayam yang selalu
dipatuki lelaki kekar yang telah membeli jiwanya.

Kudus, 2005.



Ini Sorga bagi Kita


Masih kuingat jalan mendaki itu, naik menuju puncak,
meniti ungu coklat kehidupan di puncak Muria; jiwaku
terhempas seperti serat kapuk randu yang terlepas, lalu aku
pun terbuai gelak daun tawa pohonan nyanyi rumput
menjemput sapi sapi di atas kepala petani, riang anak anak
kecil berlarian menggaris pematang. Begitulah aku
menziarahi hari lalu.

Biru dan tenang seperti alur sungai merayu batu batu,
lalu gema dzikir melambung dari rumah
rumah santri mengumpulkan jiwa jiwa dalam satu bumi,
adzan meluncur dari kubah kubah masjid mengumpulkan
jiwa jiwa dalam satu langit, lalu sayup shalawat merayap
dari mulut ribuan peziarah yang tiada henti melawat
masa lalu untuk berbenah hari ini.

Kawan, betapa aku sungguh tak ingin segera bergegas
apalagi meninggalkan kehijauan ini dalam hiruk pikuk kota.
Ini sorga, dimana jiwaku terpuaskan oleh sebuah pesona.
Apa yang akan kukenang jika Kudus pun melindap dari
kenangan dan tersumbat di aorta generasi bisu? Ini sorga
dimana jiwa jiwa terpuaskan oleh sebuah pesona.


Kudus, 2005.



Malam Sehelai Sayap


Dan malam beringsut membawa sehelai sayap terlepas
aku teringat kemarin kita menangis di tepi ranjang
melukis kegetiran hidup di kayu kayunya
lalu pada celana dalam yang terserak sebuah lagu melayang
dan menjadi puisi masa lalu,
mengapa kita tak pernah berhenti meratap?
Malam ini sehelai, besok sehelai lalu lusa dan esok lusa
tak ada satu kesempatan bagi kita mencaci dunia
setelah peristiwa terpatah bagai helai helai sayap
kita tak pernah tahu dimana akan dijatuhkan
meski telah belajar dan diajar bertahan
angin santer dan reranting berduri
tajam meluluhlantakkan hingga tak berdaya.


Kudus, 2005.




Senja Mata


Dia menaruh lekak lekuk tubuhnya
di atas pangkuanku yang ilalang
aku pun bilang padanya langit masih tinggi
dan kemarau hari ini pasti segera berganti.
Dan kau sok penyair romantis, sahutnya.
Lalu pada lengkung pelangi
aku menyeberangi sunyi kata
melalui geletar sayap sayap capung.
Senja mata melukis tubuh rimbunan bunga
mungkinkah aku telah keliru menangkap getaran itu?
Kau yang terkapar dibantai matahari,
juga aku nanar di ujung matamu
tak ada yang bisa membangunkan
kecuali khayalan yang meluber dari batas gelas.


Kudus, 2005.




Sriti


Kini kau akan sedikit lebih mengerti
lagu ombak siang malam mengibarkan rambutmu
sayap patah menjadi tak berarti
seperti ribuan kata kata dari buku sajak yang menggelembung
bagai balon balon yang ditiupkan anak anak kecil
di kebun belakang
biarlah engkau hadir dan mengertilah maknanya bagiku.
Lincah yang kau kepakkan
tetap menyimpan sunyi aku tak peduli
begitulah aku memanggilmu. Laut menyimpan badai
lalu angin bersarang di semak pantai
dan kau tetap menyimpan rahasiamu di tiap kepak sayap
aku sendiri pun sangat ingin memahami.


Kudus, 2005.




Ronce Simpul


Lalu setiap simpul
akan menyambung pada simpul berikutnya
seperti rumah rumahan kardus mainan anakku;
kokoh saat tali temali bertemu dan memisah.
kita rayakan akumulasi peristiwa demi peristiwa
hingga sebagai rumah kita terjerat tempat ini.
dan nanti jika matahari mulai lelah
dengan tubuhnya yang mulai lumer dan tua
tangan tak cekatan lagi
membuat simpul simpul peristiwa indah
sebagaimana hari ini
aku akan berlagak sebagai penyair
yang kemana pun pergi membawa buku alamat
atau seperti gadis yang tak pernah lupa
menyelipkan cermin kecil di dalam dompetnya
atau paling tidak aku tak akan pernah melupakan
sehelai rambutmu
terbakar matahari di ngarai usiaku.


Kudus, 2005.




Waru Jelaga


Kurasa jelaga telah menepi ke batas kota
menggantikan daun daun waru lunglai
ditarik ulur antara dogma dan nafsu
rekreasi di lingkaran aroma bau kencing penjagal
atau malah ideologi patriarkhis dan feminis
telah membuang mereka dalam keranjang sampah
di pasar pasar hewan.
Di bawah waru jelaga
mereka membicarakan kerlap merkuri
kerlip dian penjaja bakwan-tahu-pisang goreng.
Di atas pertigaan
mereka ditertawakan papan iklan benderang
kurasa inilah keakraban yang memilukan
sebuah pesta di tengah kota mati.
Terpinggir. Dan akrab.
Air kencing-kotoran binatang-sayur membusuk
mereka menghuni dunia yang sisa itu sebagai kewajaran
yang terselip hingar kota yang semakin tak tahu diri.


Kudus, 2005.




Pembicaraan dari Pecahan Botol



Antara tersesat atau menyesat diri
menyadari mulutku mengendus kloset
lidahmu menjilati punggungku bagai induk kambing
sembari membisikkan desah lirik lagu dangdut
sesobek kertas koran masih menulis Aceh
demonstrasi kenaikan harga BBM
kau, bahkan kemanusiaan yang tercabik itu
asyik dan acuh saja
behamu yang kendur–gincumu lumer–dirimu direndahkan
aku memagut bahumu agar kau mau berhenti menjilat
lebih lelah untuk tidak mengajakmu bicara soal apa saja
kecuali diri kita, ya kecuali yang satu itu!
kami mengurainya dengan pecahan botol di sudut kamar
tapi aku juga masih belum tahu
apakah aku telah benar benar tersesat?


Kudus, 2005.





Lelaki Sunyi
Untuk Fariz Hudaya, dan Ayah lainnya



Tak ada rasa letih pada wajahmu
meski kau tahu bakal mati jua di sini
setelah merenangi sungai
riam riam terjal itu
bahkan sepucuk cita cita
yang terhempas entah dimana
pada dahi anakmu yang sakit
masih sempat kau tulis doa
masih senyum pula untuk seluruh hari
yang segera menua.

Hidup seringkali hanya soal sederhana
cakrawala seringkali terbaca tak sengaja
lalu aku kembali berhenti
betapa aku tak sekuat engkau
meladeni kenyataan
tak serajin engkau menganyam
sebatang demi sebatang ranting hambar
menjadi karya kehidupan yang bermakna.


Kudus, 2005.




Laron Pecundang


Langit yang cerah lalu hujan tiba tiba
juga tanah membuka dadanya yang bidang
menerbitkan laron laron berkeriapan sayapnya
mencari cahaya menuju cahaya
hanya saja mengapa kau masih duduk di sini
mengurai beban rumah
menerbitkan laron laron pecundang dari matamu
untuk minta diri dibakar sunyi.

Aku lebih pecundang
mendekap pipimu dalam lukaku
aku lebih pengecut
meraih tanganmu dalam lumpurku.

Kesedihan melahirkan duka
kekejaman menerbitkan derita
dan esok hari kita mengabarkan kepada dunia
sudahlah, kita jalani saja!


Kudus, 2005.




Sayap Malaikat


Engkau mengangkatku dalam kepak sayap malaikat
serupa bayi; tubuh lilin-tubuh telanjang
dan terlukis ilalang di tepian pori pori kulitku.

Hangat dalam peluk lambungmu yang halus
mulutku garing memerih dikibas angin kering
engkau terus mengangkatku di sunyi paling tinggi.

Kekasih, sayap malaikat di bola matamu
mengapungkan luka luka
Ssst, janganlah ucapkan sudah!!


Kudus, 2005.




Perubahan Meta


Dinding kamar saat pertama kumasuki masih polos dan lugu
warna laut biru dan getaran ayat suci membalut ranjang
lalu senyum dari balik cermin membentuk ruang sejuk sunyi.
Meta, jarum jam merangkak tinggi
engkau belum juga terlihat membuka pintu.
Kemana saja engkau menenteng waktu?
Berdentam dalam kamarmu seperti kubah merapi menyimpan
gelegak lahar panas. Meta, bukankah kau menuju dewasa?
Di luar dunia penuh musik dan warna tapi jangan bawa masuk
mereka dalam kamarmu; ruang senyum sunyi – doa.
Diam diam aku ingin pergi saja
takut untuk bersua bibir dan senyummu telah berbeda.


Kudus, 2005.




Burung Hitam


Burung hitam adakah kau cuma bayang
bicara dalam gelap berkicau dalam temaram
jika kau nyata
ayo kita makan bersama dan bersulang anggur tua
biar kita bicara dalam terang.

Burung hitam adakah kau cuma bayang
tak peduli jinak atau liar sergap aku di bawah nyala lampu
aku kirim jua sepotong kue dan salam hangat

Burung hitam jubah malam tangan gelap
mata cekung mencorong dalam igauan
apa yang kau cari?
bukankah segaris nama baru perlu dirayakan
bersulanglah untuk sebuah pertarungan.


Kudus, 2005.




Randu Alas


Sudah rabunkah matahari pada kupu kupu, sayap patah,
tersekap di rimbun daun tak kau pedulikan
anggun dalam megah pucuk pucuk menjulang
batang tua gemuk membungkuk tumbuh dalam riap mayat mayat
kubur atas kejayaan dan megahmu kini
lingkar pagar tua pucat pasi
menakut nakuti setiap yang datang dengan hati.
Sudah rabunkan matahari pada akar akar menggelembung
meretakkan bangunan dinding dinding rumah
dimana kelak kami akan ziarah


Kudus, 2005.




21.23 Wib


kau hanya burung hitam
kriminal paling sadis dalam bait bait mistis
remah remah bara kau semai
di atas ranjang pengantin kami
tapi lihatlah,
remah bara menjadi tunas mawar
tegar meski ranjang beranjak tua.

Kudus, 2005.




Pagi Sesudah Badai


berhenti di ujung ngarai, dada terhampar hingga sebuah sungai
entah badai mana, kerikil berhamburan dan rumputan melesak
bagai jejak babi hutan menerobos malam dikejar pemburu liar

ngarai masih menyimpannya di balik batu batu,
rumputan lesu
saling menggamit-bergelayutan-meregang akar yang tertahan
sungai mengalir biasa seperti tak ada apapun yang telah terjadi
tapi kita terus menaruh curiga;
apakah pegangan telah menjadi pegangan?


Pesisir Utara, 2004-2006.





Perjalanan ke Selatan


perjalanan ke selatan.
melintasi hutan yang tak lagi perawan
angin mengombang ambing laju jalan
aku teringat bima
tangan yang mampu memenggal kepala,
tak mampu merenggut tunas rumput
inikah yang kucari?
menelisik sunyi layaknya pencuri.

Pesisir Utara, 2004.




Kepompong (1)


akulah sesuatu dalam sesuatu
kepompong yang selalu gagal menjadi sesuatu.
ia keburu membusuk di dalam rumahnya sendiri
sebelum benar-benar terbebas dari segala keterikatan itu.
kutunggangi kuda perasaan
yang kuciptakan di padang imajinasi.
hingga pada saatnya aku tersadar
ia melemparku dalam kubangan dengan segala kebusukan.
ingin kurangkai lagi mula kehidupan pagi dari hal sederhana
rindu bisa kulakukan hal-hal kecil
sebagaimana pernah bisa kulakukan itu pada saat lalu
aku rindu saat aku hanya mampu berdoa
dan waktu tak banyak bicara
hingga hidup tak rasa didera seperti ini.

Pesisir Utara, 2004-2006.





Terapung


mungkin aku bisa karam di kedalaman matamu
terus menerus didera, sinar itu bagai lecut cemeti
perih menggiring segala dayaku untuk bersimpuh
panorama yang kabur itu pun seakan terus merayu
hm….
kelelakian telah lunglai oleh geletar tarian gemulai
bunga setangkai yang digenggam pun tertinggal
di permukaan matamu
dan terapung

Pesisir Utara, 2004.




Kepompong (2)


angin masih sepoi,
matahari hangat di raut dedaunan
dan semua sudah berjalan menurut rencana
tapi masih bisakah kita menjamin kesuksesannya
kekupu yang tiba waktu, kini tak muram lagi
bunga dan berkas cahaya ia lepaskan dari mata
masuk ke dunia baru harus melalui mati sempurna
tapi adakah sesal, tatkala menelusuri jalan sepi itu
ia membusuk dalam kepompong
membusuk dalam kepompong
kemana ia? dan tak ada yang akan menanyakannya
mungkin kau pikir rohnya langsung melayang ke surga
atau mewujud dalam rupa semut 33 waktu berikutnya
menurutku ia hanya mati dengan sia sia
tanpa tahu siapa yang menyebabkan kematiannya
yang ia tahu cuma, melakoni apa yang harus ia lakoni
tersangkut di ranting pohon dan sunyi.


Pesisir Utara, 2004.





Satu Januari


kau rebah di ranjangku, satu januari
angin menyeret gerimis dari utara

oh, jadilah malam alfa sekaligus omega
ini spora mulai rimbun di batok kepala!

Pesisir Utara, 2004.





Lari Perawan


teriaklah pada tebing
dan akar pohonan yang telanjang menjadi lelaki
menyelinaplah ke sana, dan ceritakanlah semua
hanya bulan sabit yang mampu mengawinimu
ranjang putih semenjak malam pertama
masih mengambar aroma kembang wijaya
ia tetap bagai lukisan mimpi, yang tak pernah
bisa dimasuki siapapun juga
sebelum mimpi membuka pintunya sendiri bagimu.

bulan sabit di balik tirai, tergantung gantung
bagai nyala merah lampion di pojokan cakrawala
termangu mangu membungkam diri
siang telah mempertemukan cinta palsu
di meja pelaminan yang (kebetulan) kau pilih ungu
tapi kembang wijaya telah mencatat dengan tinta
menjadikan putih seluruh ranjang di kamarmu
teriaklah pada tebing, cepat nyatakan cinta
pada siapa saja asal bukan dia
akar pohonan yang seketika lelaki
menyediakan kolong bagi sebuah pelarianmu.

Pesisir Utara, 2004.




Tepi Ladang Tebu


kehidupun bangkit dari tepi ladang tebu
cerobong yang mengasap ke langit bagai doa
tak putus sepanjang musim
tapi siang ini alat giling kami termangu saja
rantai dan gerigi karatan, mempertegas hari sekarat
pabrik gula yang tua di seberang jalan, muda kembali
ia telah beli tebu tebu dengan harga di atas kami.

sepanjang sungai belakang rumah kini mengalir limbah
airnya jadi hitam baunya menyentak mengusir kami
padahal sungai dan kami tak bisa diceraikan
kemana pun pergi, selalu sungai penanda nama kami
gemericiknya mengiringi setiap tetesan air tebu ke tungku
menyambung kehidupan kami hingga musim berikutnya
hari ini, asap lelayu mengapung di tepi ladang tebu
sebagaimana semua orang akan tahu, kami telah kalah
oleh pabrik itu, tapi kami tetap merasa berhasil melintasi
hidup, dengan cara dan daya kami sendiri.

Pesisir Utara, 2004.




Romansa Seorang Buruh Pabrik Rokok


fajar terbuka menyisir rambutnya
lalu terdengar kleneng lonceng sepeda di luar jendela
menyeruaklah bau keringat lelaki muda
5 km telah ia berkayuh menyusur aspal yang tak rata
bau dari mulutnya saat berkata, “betapa cantiknya gadisku!”
dan mereka telah bertunangan di rumah beratap rumbia
dunia yang tertinggal di tepi ladang tebu menjelang senja.
tak pernah bertanya hari ini garapan berapa
tubuh yang sehat menumbuhkan pucuk daun untuk hari berikutnya
tunangan yang juga mandornya,
juga jarang tanya hari itu akan pulang pukul berapa
sudah ada yang mengatur, dan ia manusia yang tinggal menjalani

betapa sederhana hidup sebagai orang biasa
makan, tidur dan bercinta
kerja, tidur dan bercinta
selebihnya cuma kesibukan yang sepele
mesti bersepeda sebelum dan sesudah bercinta.
matahari bersinar setiap ia mulai kenakan topinya
menggiling batang demi batang kretek bagi kekasihnya
yang akan ia antar hingga pintu rumah keabadian.

ia punya banyak cerita
tapi ia melewatinya dengan sederhana saja
ia hanya punya satu tanda di setiap fajar tiba
ialah senyumnya
dan di kaca ia lihat kekasihnya dari balik jendela
berkeringat di atas sepeda, menantinya.


Pesisir Utara, 2004-2006.



Kuburan


Badan dan segala yang melekatinya
akan melebur dalam debu kubur
ingin sehebat apakah daku manusia?

Jiwa menangislah
yang telah tercatat tak mungkin diralat
kecuali satu baris terakhir yang tersendat

Tuhan, ampunilah hamba!!

Pesisir utara, 2003.





Jogja Satu


Kangen. Melihat kotamu. Melihat lampu lampu jalan.
Melihat dirimu. Masihkah seperti yang kukenal dahulu.
Issana, tiga tahun tak sua. Kotamu tambah kumal bagai istal.
Jejak telapak kaki kuda menyusup, lalu hilang di tikungan.

Katamu, aku jangan kau tinggalkan. Kota lama temaram.
Ia kini bagai gua batu yang kaku. Tak ada kompromi.
Jangan aku kau tinggalkan, sekali lagi katamu.
Jogja telah kau curi. Kau sembunyikan dalam hatimu.
Kata katamu mengingatkan aku pada pertemuan itu.
Dimana aku bisa jujur, saat menangis saat tertawa.
Saat mengenang semua dosa direngkuh ampunan cinta.

Jogja, Oktober 2003.




Jogja Dua


Melewatkan satu malam dalam gerimis. Kucari cari
apa sebetulnya yang membuat berat bagiku untuk pergi.
Sebait puisi telah kujual di malioboro, pena pun telah
aku gadaikan dalam pertemuan rahasia di belakang gereja.
Lalu apa yang aku banggakan ketika nanti kau bertanya,
dimana cinta sejati yang pernah kutitipkan padamu.
Bukankah sudah tak layak jika aku tetap bertahan disini,
meski deru kerinduan menyergap dari semua penjuru.

Jogja, Oktober 2003.




Jogja Tiga


sudahi saja petualanganmu, malam berulang purnama
dan satu persatu apa yang kau punya bertanggalan
kecuali whiskey vodka telah berbotol botol jadi pena
itu pun masih bersuara, serak parau untuk jadi kau saja
Greg, Jogja yang kau puja telah bermetamorfosa
dalam setiap benak ningrat para pemerkosa
dalam paradigma pengemis dan pengamen
dalam kanvas para pelukis yang onani
dalam setiap jiwa penyair yang mabuk kenangan
Greg, apa lagi yang mesti kutunjukan padamu?
masa depan kita di tangan penjual balon di taman kota.

Jogja, Oktober 2003.





Pantai Bandengan


pepohonan pandan menyeruak di sepanjang pantai
pepasangan belalang berkasihan di tangkai tangkai
angin dan pasir berkejaran di bawah terik matahari
deru mesin kapal nelayan seperti teriakan pada sepi
aspal jalan yang hanya diam, mencatat semuanya
siapa saja yang lewat dengan membawa keping jiwa
untuk dilarutkan di samudra
tidak kau lihatkah itu semua, kekasihku
kenapa kita masih juga senang ingkar
kenapa kita masih ragu atas percintaan kita.

Pantai Bandengan - Jepara, 2003.




Episode Pendakian Kesatu


dari Rahtawu, separuh Kudus mengapung bersama kabut
seperti juga sepasang matamu, selalu terlempar ke perbukitan
ranggas pohon jati dan randu, di balik semak ular mendesis
ladang ladang jagung dalam terasering yang mengering
ah, kelepak elang elok dan tenang memainkan arah pandang.

bunga rumput dan capung menantikan matahari tertidur
bahasa daun yang diterjemahkan ke dalam jari tanganmu
seperti menanti batu hitam copot dan nggloyor ke lembah
penasaran dan ketakutan tergambar di batang batang pohon
tiang listrik menjerit, setiap malam mengantarkan nyala
untuk menerangi apa, untuk menjelaskan pada siapa?
gerai akar akar pohon, telanjang di sepanjang jalan mendaki
keindahan yang terbungkus dalam diam dalam sembunyi.

dan kota berkerlipan bagai lautan mata insan kesepian
dan Menara Kota, mercusuar kota bagi penunggu jiwa
kapal kapal berlabuh dan melepaskan beban ke daratan.


Rahtawu, Oktober 2003.




Episode Pendakian Kedua


jalan sempit mendaki sedikit, lalu turun tajam ke sebuah kali kecil
gemericik terpancar dari sela sela bebatuan, anak tangga ke pancuran
membasuh tangan dan kaki, lalu kucuci mukaku yang lengket berdebu
sekeping hati kutaruh di atas jembatan, di bawah rindang pohon randu
dimana bertaburan kapas kapasnya menyentuh bumi seperti salju
seekor bunglon larut di tatapan, mendesis liar pada hati yang terbakar

‘kena kau!’ tapi batu hanya mengena batang randu
lalu terseok di rerumputan dan paku pakuan yang enggan berbunga
‘kena kau!’ dan kini pun batu melesat mengena hampa
lalu membentur batu batu yang lebih kekar, terus tenggelam ke dasar
‘kena kau!’ ia malah tertawa, batu yang kulempar kena kepalaku
dan seekor bunglon masih memaku, manatap lebih tajam pada mataku

saat pulang,
kusambar saja setangkai bunga rumput liar
meski bergetah pekat dan berduri sepanjang tangkai
setangkai bunga liar ini, ingin kutancapkan di jantungmu
biar engkau menjadi kuburan bagi seluruh cintaku.

Rahtawu, Oktober 2003.






Alienasi


Kini kau akan sedikit lebih mengerti
lagu ombak siang malam yang mengibarkan rambutmu
sayap patah merpati yang tersangkut ranting kering
menjadi tak berarti
seperti ribuan kata kata dari buku sajakku
yang menggelembung bagai balon busa
yang ditiupkan anak anak kecil
lalu pecah di kebun belakang.

Aku meloncat keluar dari jiwamu,
karena aku ingin lihat dirimu yang sesungguhnya
saat kau membersihkan halaman rumah dari daun daun yang lelah
aku telah mengembara ke tempat-tempat yang tak kau pahami
bertamu dan bertanya kepada rumput hijau, tapi tak jua ketemu kau di siitu?!

Semua ini kesiasiaan, sayang
jika kau hanya menakar keringat
menimbang beban yang semakin memberat
dan di tikungan jalan kau rubuh
menikam nikam diri dengan seribu penyesalan

Jangan, sayang
dengarlah pengembaraan ini….
matahari yang tegar menyeret cakrawala
dimanakah rasa lelah ia timbang
pucuk-pucuk angin yang setia memimpin musim
dimanakah rasa bosan ia tanggalkan
dan kini lihatlah dirimu
pohon tak pernah menghitung berapa puluh ia akan berbuah
bunga tak pernah menjerat diri untuk sebuah keindahan
dan engkau, kenapa menangis di tepi jalan
sementara kau tahu angin perubahan melintas
bagai arus deras sungai mampu menghanyutkan siapa saja

masuki dirimu saat matahari miring 175 derajat ke cakrawala
dan hanya bila dirimu adalah jiwa yang merdeka
yang riap dengan irama bendhe perjuangan
yang gemuruh dengan angin tegar yang mengasuh musim
yang lapang seperti langit
menyediakan matahari bangkit
dengan penuh kemuliaan
dari ufuk timur jiwamu.

Kudus, 2006.




Negeri Tragikomedi (1)


langitku retak
bumiku lebam
lalu laut berderak
dan gunung berdentam
seperti pisau puisi
bahkan lebih ngeri
siapapun membaca
siapapun merasa
dari kolam sajak di koran pagi
meloncatlah ia ke kehidupan
karena hati tak lagi mau dengar
karena jiwa tak ada lagi ruang
ia terentaskan
tapi jiwanya mati
tak terselamatkan


Kudus, Maret 2007.




Negeri Tragikomedi (2)


aku pasti menulis sajak dan akan terus bersajak
meski pohon pohon hilang roh air hilang muara
batu batu mendesak ruang dan jiwa nglambrang tak berarah,
aku pasti pistol yang telah meledakkan kepalamu
sesaat kau hendak bangkit dari kursi kuasamu…
di belakang kita telah ada yang pengintai,
lalu merekam apa yang telah kita lakukan
untuk dijelmakan bom
saat logika tak bisa menjelaskan
kenapa kita telah begitu kecewa dengan kesewenangan ini….
wajarkanlah kemarahan kami seperti debur lumpur yang menggelora,
dan tak perlu hati bicara jika hidup saja sudah dibunuh
layaknya sapi di pejagalan,
terlunta lunta sudah perjalanan ini
hingga tak sempat lagi kami punya birahi terhadap apapun….
keempat anak anak kuhadapkan tuhan
karena dialah yang mestinya bertanggungjawab,
karena pohon pohon yang hilang roh air hilang muara
dan batu batu mendesak ruang hingga tersampir di bibir pembaringan,
seperti ketekunan para pendoa yang tak pernah terkabul doanya
dan aku akan terus menulis sajak sajak dalam sunyiku

Kudus, Maret 2007.





Tapal Batas


jika jalan
patah sudah
kemana kaki
jika malam
pecah sudah
kemana hari
jika angan
tumbuh kembali
kemana angin
jika cinta
pulang kembali
kemana hati
jika engkau
tanyakan aku
dimana dirimu
jika engkau
tanyakan engkau
disitulah dirimu
tak pergi
tak pulang
di sini
membaca bintang
mencatat sungai
kita akan menuai
di ladang sajak


Kudus, Januari 2007.




Kamar Pengantin


akhirnya aku menjumpaimu di sini
di antara wangi kenanga dan warna biru
berkubang dalam satu gerabah
puncak dari perjalanan yang rumit
dan setelah kita meroncenya
menjadi perhiasan di sanggulmu dan leherku

tetapi cinta bukanlah sajak
juga bukan keindahan itu sendiri
di dalam satu gerabah
kita bertukar jawab dengan jujur
aku menjumpai huruf yang tercipta di hatimu
kamu pun akan tahu betapa ringkihnya aku
di sini kita beradu rasa cemas
karena kenyataan memang lebih menyakitkan

turunlah, kutunggu kamu di sini
berkubang dalam satu gerabah
agar kita tahu pantaskah kita bernama cinta

Kudus, Oktober 2008





Daun Telinga yang Perawan


ingin aku membisikkan kata
di ujung daun telingamu yang perawan
hitamnya masa depan
susahnya membebaskan diri dari ketakmampuan
aku berharap banyak darimu
matahari yang menguak gelap kehidupan
dan hanya suara belalang
tersisa hingga engkau anggukan kepala


barangkali aku ayah yang ceroboh
membagi cerita pahit kepadamu
dan mengandaikan keindahan
mesti direbut dengan tangan keras
padahal mestinya aku tersenyum
demi telingamu yang perawan
dan anggukan kepalamu
yang sesungguhnya mengiris hatiku

aku membisikkan kata yang lain
yang terakhir kali
di ujung daun telingamu yang masih perawan
tentang kekuatan cinta yang harus dipercaya
tentang matahari yang menerbitkan keberanian.

Kudus, Januari 2008.



Rumah Kita


rumah yang kubangun
dari cinta cinta yang tumbuh
yang kuberi ruang
dan kurawat di setiap saat
memang bukan dari kaca
atau marmer istimewa
kadang solfatara
mengapung di atas asbak
dan menyela perbincangan
temboknya berlumut
lumut yang bisa bicara
coretan dinding
yang berbisik dalam gelap
lalu pot pot yang seakan diam
menjaring informasi gerimis
gelas dan dentingnya
melempar fenomena
di tengah kepongahan

lalu aku hanya membiarkan
semuanya menjulur ke langit
menjalar ke tanah tanah basah
atau menjala semua ikan ikan
yang terbawa angin senja
di situlah kami tumbuh
hingga tak mengenal mati.

Kudus, Januari 2008.




Swara di Suralaya


dan menggelayut swara tetabuhan
menggiring perginya sang jendral
yang pernah menodongkan tongkatnya
ke hidung pribumi yang tak seiya,

entah slendro, entah pelog
tangis dikabarkan dari puncak giri
entah slendro, entah pelog
klothekan bocah bocah pangon

bertemu swara di suralaya
menghentikan lawatan sang jendral
menuju muara
di situ ia masih sempat terpana
hidup sungguh begitu nikmatnya
kalau saja ada kesempatan kedua
akan dirampungkannya segala
atau dirampoknya segala
sampai kita menyerahkan cinta.

Kudus, Januari 2008.





Perca Hati


berceceran di sana sini,
di bawah dedaunan,
di lantai tanah perawan,
di kolong gerobak tua penyaji malam
: perca hati yang sulit kembali.

Aku, menatap tanah ini kembali
bergairah dan perawan.
Namun, begitu dekat dengan mati."


Jogja, 2010





Engkau Dimana


Pernah kujumpai perasaan ini
Dimana engkau jauh, jauh
Aku menjadi seorang diri saja
Tak tahu kemana membuang sauh

Satu persatu lunglai
Lumer di atas aspal jalan
Satu persatu membangkai
Minta segera diselamatkan

Tujuh puluh perisai tak tertahan
Sembilan puluh tiga tombak dipatahkan
Bunyi gemerincing senjata masih terdengar
Tapi tak sua sedikit pun jiwa berlaga

Pernah kujumpai dirimu
Membesuk sunyi sepiku
Atau cuma sekedar mengantar hati yang terluka
Namun itu yang kurindu
Yang membuat aku merasa hangat
Dimanakah engkau kini?


Kudus, 2009-2010





Rindu



Menelusup dari sela dedaunan trembesi
Violinmu mengapung bersama pelangi
Di bawah, berjajar jajar
Tangan tangan melambai ingin berkabar
Sesaat hilang, kenangan di dalam pendapa
Entah kemana perbincangan kita

kau berpesan, ”hari sudah terlalu tua
untuk apa kita bertemu, mengurai luka?”
masih terdengar violinmu dari sela trembesi
lagu cinta yang tersusun dari nada nada sedih
”ah, kenangan selalu begitu,” jawabku
Lihatlah aku di sini, terbakar matahari



Jogja, 2010.






Teronggok di Dalam Gudang


Rasanya telah cukup lama teronggok di dalam gudang
Debu melekat menebal dan luka luka dipenuhi karat
Rasanya terlalu berat untuk tidak berkata aku telah usang
Wajah wajah telah menjadi asing di setiap perbincangan

Ada rindu seperti kau menjamahku dahulu
Dan mendengar jerit tawa yang jujur di halaman
Tapi ada cemas jika kau menyentuhku sekarang
Aku tak lagi menjadi sesuatu yang kau inginkan

Teronggok sudah di dalam gudang
Tergeletak seperti barang rongsokan

Hanya saja, entah kenapa engkau selalu hidup di sini
Bersama keliaran jiwaku yang kesepian
Jujur saja aku selalu gagal menulis surat untukmu
Karena terlalu banyak kata kata yang hilang makna
Seperti bunga di etalase
Seperti peristiwa di setiap sinetron Indonesia
Seperti lima ratus dua puluh empat puisiku di koran koran
Menjadi sebuah kemunafikan tak berujung-pangkal

Aku masih mencoba mempercayaimu
Sebagai kidung yang berlagu setelah adzan
Sebagai kleneng lonceng sebelum altar bermadah
Aku masih ingin mendengar kau membuka pintuku
Meski diam diam,
sebagai pengharapanku akan udara segar di jiwaku



Datang, datanglah engkau kekasihku
Ke dalam sebuah gudang
Dimana teronggok aku di sana
Sebagai rongsokan yang tak lagi berdaya
Jika engkau sebuah cinta
Aku percaya engkau mau memahami dosa dosa.

Jamah, jamahlah aku kekasihku
Ke dalam jiwaku yang penuh luka
Jika engkau sebuah cinta
Engkau pasti mau menerimaku apa adanya.

Kudus, Sept 09





Indonesia Type 21, (1)


Indonesia, lelaki paruh baya, rumah mungil di bawah trembesi
Dimana catatan alamat surat sahabat telah di larung
Ketika ancaman hari depan menjadi sarapan pagi
Dimana aroma wangi tanah basah telah banyak menguap
Ketika setiap malam tidur menjadi saat yang menakutkan

Berhektar hektar ladang menumbuhkan pucuk pucuk harapan
Bagi mulut mulut besar, tapi tidak bagi penyair, bagi Ibunda
Bagi anak anak yang percaya kepada hati nurani
Berhektar hektar ladang membunga percik api kemarahan
Karena angin telah berhembus mengabulkan doa penjual nama

Indonesia, lelaki paruh baya, tabur bunga di pusara ibunya
Dengan bunga yang tak dipetik, tapi dipungutnya setelah gugur
Di tiap senja di bawah trembesi, juga di pusara mimpinya
Hingga terbenam dalam sunyi dendam yang tertahan

Rumah mungil pun mengabut, bidadari kecil menangis di sudut
Ibunda dengan wajah lebam berhias di kaca retak
Matahari terus membakar ladang ladang, memaki ladang ladang
Lelaki menelusup pintu dan teronggok di bawah celah atap
Mencari cari bulan.

Kudus, 2010.





Indonesia Type 21, (2)


Indonesia dalam jantung bocah 11 tahun
Berdetak lambat seperti jarum jam di stasiun
Kereta yang ditunggu membawakan mainan
Tak juga muncul
Bersama jutaan bocah lainnya
Bermain, meski bermain sudah tak lagi berhati
Hanya semakin menjauhkannya dari kampung halaman.

Rumah mungil dan trembesi menyimpan kenangan
Sunyi memanggil mengajaknya mati
Lalu cakrawala berpelangi jelaga, sehitam keluh kesahnya:
”Aku ingin melihat hutan, Ma... membelai harimau dan orang utan”
Mengapa ruang telah dimampatkan
Hingga jantung berdetak lamban?

Dia tertidur dalam remang cahaya di antara Matematika dan Agama
Lalu ia bermimpi menulis sebaris email untuk kenalan barunya:
”Apa kau mengenal Indonesia, seperti aku mencintainya?”
Kereta tak jua datang, hanya deru angin menggetarkan pohonan
Tapi di mimpinya, ia melihat kereta telah melaju kencang
Tapi tak berhenti lama
Dan tak menghampirinya.


Kudus, 2010





Indonesia Type 21, (3)


Anak perempuanku selalu mencabik cabik Indonesia
Pada setiap pagi dan senja, dan masih di bawah trembesi
Sebab rumah yang selalu buat singgah, serasa terbelah

Siang menciderai matahari, bulan pun terluka malam
Dan anakku menggenggam berbie bernyanyi di kamar mandi
Menirukan sebuah lagu yang terisak seorang pengembara:
”mengapa aku harus lelah karena cemburu?”

Indonesia menyusup dalam nadinya yang bercahaya
Seperti seekor kunang kunang di dalam botol kaca
Ingin meronta! Ingin memberontak!
Memecahkan botol kaca meskipun bertaruh nyawa.

Sebentar lagi saja, waktu akan melahap habis harapan
Bahkan cintanya, sebab di rumah ia tak lagi menjadi anugrah
Sembari melarung dua buah sekoci, di tepi sungai coklat
Yang mengalir di bawah trembesi, terdengar anakku bernyanyi lirih dan sesak:
”Satu tetapi berarti - Satu tetapi abadi”.

Kudus, 2010






Indonesia Type 21, (4)


Pada hamparan selendangmu,
Indonesia dalam formasi menyala
Kembali bertanya,
mengapa kita masih teronggok di bawah trembesi?
Rahim yang kucium adalah janji
Kau akan melahirkan jutaan anak anak yang lebih Indonesia
Lebih miskin, pasti,
sebab kita tak pernah lulus jurusan ekonomi
Tapi kita masih berharap masih ada hati;
Yang terisak
manakala kakak kakak perempuannya lupa harga diri
Yang mampu menyesal
manakala kita tak mampu menjaga cinta
Yang berani melawan
manakala hutan dan hutang disatroni para pencuri.

Kudus, 2010.





***
Bisa juga didownload, klik judul di bawah ini:
Alienasi - Kumpulan Saja Asa Jatmiko

Tidak ada komentar:

SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA

  SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA Kau terlebih dulu ada Sebagai saudara tua yang setia Kau terlebih dulu berada di sini Siang malam diam-diam ...