01/01/14

Beberapa Sajak "Pertarungan Hidup Mati" Asa Jatmiko

DO'A SEEKOR PRENJAK


Ya Tuhan, Yayangku.
sebagai seekor prenjak yang binal
aku tak ingin bertengger di tangan
juga tak mau hanya berpeluk di dada

aku mesti terangsang dan birahi
aku mesti kian gila jatuh cinta
maka pintaku cuma satu
biarkan aku bersarang di jembut-Mu

milik-Mu paling rahasia
milik-Mu paling rahasia
disitu Kau punya acara pribadi
disitu Kau punya privasi

karena apabila semua itu tak terjadi
apalah guna aku Kau cintai
akulah prenjak yang sendiri
maka di jembut-Mu aku berseru;
perkosalah aku, Yayangku!
atau kupotong kontholku?!!


(Bukit Jati, '99)

ENGKAU LEMPAR BATU, AIR PUN BERPENDARAN


dan kita pun kepingin menuruni bukit itu meski tanah begitu renyah berguguran bagai dua anak ayam, lari-hilang dan muncul lagi dari balik rerimbunan melewati satu dua pohon jati yang mulai ranggas secepat itu waktu bergegas menyeret musim demi musim hingga akhirnya kita sampai di bibir sungai ini sebagai air dan batu kali

engkau melempar batu dan air pun berpendaran sebelum kita duduk dan memperhatikan suara riak riak seperti meneriakkan pertanyaan pertanyaan serupa ''Adam dan Eva tak lagi bercinta mengapa kalian datang membawa wajah mereka?''

kita pun sesungguhnya tak pernah bisa mengerti mengapa kita bertemu saat ini setelah lonceng muara berdentangan setelah sama sama melewati barak barak pengungsian setelah merasa diri, cinta sudah tak ada lagi

engkau melempar batu sebagai air aku pun berpendaran lalu menyatu di dalam keheningan meski kita pun sama sama tak tahu sampai kapan kita bisa mempertahankan

Tepi Sungai Progo, 2000

Sumber: Republika Minggu, 30 April 2000


ENGKAU MENJADI SAJAK, pertama


Teja menetes. Lagu nurani yang rindu pada mata.
Menyeruap ke segenap leleran darah yang hidup.
Begitulah kita memulai pengembaraan ini, Suksma.

Teja menghilang. Membasahi dan membasuhi laku.
Hingga tak rasa di tubuh ini telah ngalir darah.
Begitulah kita akan mengakhiri semua ini, Suksma.


Bukit Jati, 99


ENGKAU MENJADI SAJAK, kedua


Tetapi benarkah engkau yang hadir ke penjara.
Menyuapkan remah remah roti ke mulut kegagalan.
Suksma. Angin yang menari di atas daun jati.
Berhentilah kita menciptakan teka teki.

Tetapi benarkah engkau yang kemudian disini.
Membakar masa lalu dengan api masa depan.
Suksma. Bergetaran ranting memendam dingin.
Terpidana itu pun renggut ke dadamu terdalam.


Bukit Jati, 99

SEPERTI BERINGIN PAKUALAMAN


seperti beringan itu keangkuhan berdiri dan kita bersembunyi di antara gerai akar yang memamerkan keindahan sunyi

kenapa kita mampir di sini padahal rembulan telah terbakar sore tadi daun daun berjelaga karenanya dan angin semakin enggan menyapa lantas kepada siapa kita akan bercerita?

kenapa kita mampir di sini jadah bakar tak lagi menarik hati sementara musisi itu terus saja bernyanyi lagunya tak pernah bisa kita mengerti lantas kapan kita akan saling berbagi?

seperti gelaran tikar di trotoar kita duduk di atasnya membuka mata kenangan juga pembicaraan yang seringkali memabukkan tetapi keangkuhan tetap berdiri meski tak ada lagi yang sedia mempersaksi

angin basah merayap melintas di depan kita ketika aku meneguk sisa kopi yang terakhir dan engkau tiba tiba memelukku ''temani aku sesaat lagi,'' tapi malam telah menggelapkan wajahmu dan rembulan telah terbakar sore tadi untuk apa lagi kebersamaan ini?

Pakualaman, 2000

Sumber:
Republika Online edisi : 08 Aug 1999

Tidak ada komentar:

SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA

  SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA Kau terlebih dulu ada Sebagai saudara tua yang setia Kau terlebih dulu berada di sini Siang malam diam-diam ...