08/02/17

Seribu Puisi, Nol Penyair

Semenjak peluncuran buku puisi "Bayang-bayang Menara" oleh KPK pada Minggu, 20 Maret 2016 di Universitas Muria Kudus, saya mulai bertanya di dalam hati, para sastrawan Kudus terus-menerus dan tiada henti berkarya kecuali mereka yang muda. Dimanakah mereka? Atau kita secara tidak sadar telah abai terhadap regenerasi, menyambut bibit-bibit sastrawan muda bertumbuh? Atau di Kudus hari ini, memang benar-benar "tidak ada" mereka?

Aduh, judul buku "Bayang-bayang Menara" seolah-olah memperjelas keberadaan para sastrawan muda (saya menyebut sastrawan untuk menyebut penulis karya sastra baik laki-laki maupun perempuan), yang semakin hanya bayang-bayang.

Bayang-bayang siapa? Entah. Mungkin bayang-bayang dari nama-nama besar, seperti: Jumari HS, Mukti Sutarman Espe, MM Bhoernomo, Jimat Kalimasada, Thomas Budhi Santoso, dan nama-nama lainnya. Atau mungkin bayang-bayang atas "kemegahan Kudus" yang sudah kesuwur sehingga melenakan proses kreatif bersastra bagi generasi muda saat ini. Atau, jangan-jangan, karena bayang-bayang dunia datar yang tersaji di medsos yang telah membuat sastra menjadi kalah menarik.

Saya tidak ingin menyalahkan siapapun di sini, untuk mencari penyebab mengapa generasi muda bibit-bibit sastrawan di Kudus nyaris tak ada. Saya hanya khawatir, dalam 5 sampai 10 tahun ke depan, siapa orang Kudus yang akan menggumuli sastra dan mampu berbicara membawa Kudus dalam dunia sastra Indonesia. Sebagaimana yang telah dicapai gemilang para senior, seperti sastrawan-sastrawan yang telah saya sebut di atas.

Pada beberapa tahun yang lalu, sekitar tahun 2008, saya sempat menaruh harapan akan berseminya gairah kesastraan di Kudus. Ada Imam Khanafi dan kawan-kawannya di PEKA, dengan kegiatannya yang antara lain membuat buletin. Memuat berbagai tulisan di seputar sastra dan kesenian, juga menampung karya sastra (puisi dan cerpen).

Kemudian ada Ullyl Ch dengan Komunitas Sapta Rengga-nya. Ia dan kawan-kawan aktif menulis puisi, diskusi-diskusi kecil hingga kegiatan  pembacaan puisi di beberapa tempat. Saya sempat mengetahui kegiatan terakhir mereka adalah mengadakan kegiatan pentas seni di kecamatan-kecamatan. Meskipun agaknya "sedikit berbelok", menjadikannya penyelenggara kegiatan, Ullyl Ch dan kawan-kawan sempat memberi warna tersendiri dalam dinamika sastra di Kudus. Sesudah itu, kabar tak lagi terdengar.

Kudus dan kesastraannya kiranya sedikit banyak terbantu untuk bertumbuh, atau menyatakan diri masih ada regenerasi, dengan adanya beberapa kegiatan Fasbuk (Forum Apresiasi Sastra dan Budaya Kudus). Forum ini sempat menampilkan para penulis puisi remaja, pembacaan puisi dan juga diskusi-diskusi sastra. Dengan sesekali menghadirkan pula para sastrawan Kudus yang sudah punya nama, Fasbuk juga telah membantu bagaimana upaya menjaga eksistensi sastra dan kesastraan di Kudus.

Namun lagi-lagi, kesastraan tetaplah dibangun oleh individu-individu yang ingin bergelut dengan sastra. Dan sastra, tetaplah dunia menulis. Sebuah dunia sunyi yang hanya bisa dihuni oleh sastrawan yang berkehendak maju dan terus. Dunia sastra bukanlah dunia yang ramai kemudian berhenti pada diskusi-diskusi atau pementasan-pementasan. Pertanyaan yang paling utama dalam dunia sastra adalah karya sastra: puisi, cerpen, novel dan sebagainya.

Lalu apa yang penting dalam persemaian bibit-bibit penulis sastra sebenarnya? Kiranya bukan hanya sekedar kegiatan pentas baca sastra, juga bukan hanya seremonial kegiatan kesenian semata semacam menerbitkan buku. Karena itu semua hal yang mudah, "punya duit, kelakon, dan sudah”. Proses bertumbuh seorang penulis sastra, yang adalah dunia sunyi, pastilah juga ditempuh dengan menghindari hingar-bingar dan gemerlap lampu-lampu.

Sekira penting untuk kembali melongok, bagaimana lahan persemaian sastra di Kudus hari ini. Yang pada ujungnya menumbuhkan proses pembelajaran akan pengkaryaan. Medsos dengan segala kemudahan dan kemewahan yang dimilikinya, mungkin telah melahirkan seribu puisi setiap harinya, tetapi dari semua belum tentu secara otomatis menjadikannya seorang sastrawan atau penyair. Kesastrawanan atau kepenyairan adalah serangkaian proses bertumbuh yang terus-menerus.
Oleh karenanya, tetap menjadi penting untuk menempatkan membaca untuk “menambah modal” wawasan dan jelajah estetika sastra, dan kemudian terus menulis karya-karya, keduanya merupakan kebutuhan pokok seorang sastrawan. Diskusi-diskusi kecil namun intens, mempresentasikan karya dalam forum-forum, akan menjadi suplemen penting untuk semakin meningkatkan kualitas karya. Barangkali inilah persemaian yang selama ini terbengkelai, sehingga hari ini ada seribu puisi tapi nol penyair.***


2 komentar:

Situs BandarQ Terpercaya mengatakan...

Judi Poker
Situs Poker
Situs Judi Poker
BandarQ
situs BandarQ
BandarQ Terpercaya
DominoQQ
DominoQQ Online
Situs DominoQQ

admin mengatakan...

Sastrawan Indonesia Memperingati Malam Sastra Aceh 80 Tahun LK Ara

JAKARTA (nusapos.com)-Sejumlah sastrawan Indonesia dari berbagai kota merayakan ulang tahun penyair LK Ara dalam acara bertajuk: "Malam Sastra Aceh 80 Tahun LK Ara", di Boulevard AcehCoffee, Jakarta, Sabtu (11/11) malam.

Ketua Panitia Willy Ana mengatakan, Pak Ara adalah salah satu penyair penting Indonesia, yang masih berkarya hingga usia 80 tahun saat ini. "Energi Pak Ara sangat mengagumkan, dan sangat menginspirasi kami generasi muda," ujarnya.

Penyair dan Sutradara Jose Rizal Manua mengatakan, LK Ara saya kenal sejak 1970an, dan salah satu penyair sangat kreatif sepanjang usianya. "Saya mengoleksi semua buku-buku karya Pak Ara, sangat menginspirasi," kata Bang Jose.

Hadir dalam acara bersejarah ini Penyair Eka Budianta, Fikar W. Eda, Ace Sumanta, J. Kamal Farza, Mustafa Ismail, Iwan Kurniawan, Pilo Poly, Bambang Widiatmoko, Fadjri Alihar, dan beberapa penyair muda.

Selamat ulang tahun Pak Ara, semoga panjang umur, berkah dan bahagia.

http://nusapos.com/2017-11-13/sastrawan-indonesia-memperingati-malam-sastra-aceh-80-tahun-lk-ara

SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA

  SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA Kau terlebih dulu ada Sebagai saudara tua yang setia Kau terlebih dulu berada di sini Siang malam diam-diam ...