04/06/12

Air Salamun dalam Sebuah Ritual Rebo Wekasan

Oleh. Sutrimo


Banyak orang mengenal Kudus sebagai Kota Wali, atau juga Kota Kretek. Namun bukan itu saja, di sisi lain, Kudus juga banyak sekali tradisi kebudayaan yang masih terpelihara dengan baik. Seperti: tradisi Dandangan di Kampung Menara, tradisi Kupatan di Desa Sumber, tradisi ritual Mubeng Gapura Masjid di Desa Loram Kulon, juga tak kalah menarik adalah tradisi ritual Rebo Wekasan di Desa Jepang.


Acara yang digelar setahun sekali ini, tepatnya pada malam Rabu terakhir di Bulan Sapar (Tahun Hijriyah) dipercaya oleh sebagian masyarakat sebagai ritual 'tolak bala', yakni ritual yang bertujuan menghindarkan diri dari petaka yang akan menimpa, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Jepang, di Kecamatan Mejobo, Kudus.

Aroma mistis dan sakral acara tersebut bertambah kental, karena pelaksanaannya digelar di sebuah masjid peninggalan para wali yang dikeramatkan. Masjid ini juga sudah termasuk sebagai bangunan cagar budaya dan eksistensinya dilindungi undang-undang.

Ritual Rebo Wekasan memang hanya bermuatan lokal. Namun sudah dua periode ini semakin melaus dan semarak. Panitia yang pada awalnya hanya terdiri dari kalangan pengurus masjid, kini sudah mulai ada keterlibatan dari pihak pemerintah, terutama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus.

Pemerintah menilai bahwa ritual Rebo Wekasan merupakan salah satu aset kebudayaan yang dimiliki Kudus. Makna dari ritual Rebo Wekasan sangat tinggi, antara lain adalah mencerminkan nilai religiusitas, persatuan dan penghargaan terhadap alam. Pemerintah juga berharap, gelar tradisi ritual tersebut menjadi salah satu daya tarik wisatawan.

Semaraknya acara tersebut sudah bisa kita rasakan sejak H-5, diawali dengan ziarah kubur para wali, kemudian disusul beragam acara, seperti: bazaar, pentas seni, pengajian dan akhirnya ditutup dengan gelar kirab budaya. Rombongan kirab budaya bergerak mengelilingi desa dengan jarak tempuh sekitar 5 km, dimulai dan berakhir di halaman masjid wali Al Makmur.

Peserta kirab sudah tertata rapi, dengan pakaian tertentu yang mencerminkan semua elemen masyarakat. Mulai dari pengusaha, buruh, pelajar dan juga komunitas-komunitas masyarakat yang ada, seperti: karangtaruna, paguyuban petani dan perwakilan-perwakilan masjid dan mushala seantero Desa Jepang.

Masing-masing kelompok membawa atribut dan kreasinya, seperti: gunungan yang berisi hasil bumi, miniatur masjid, penokohan seorang figur sesepuh desa pada jaman dahulu, figur alim-ulama yang disegani, hingga visualisasi para iblis dan simbol berbagai penyakit yang seolah-olah telah siap menjangkiti masyarakat.

Sebagai acara puncak, selepas Maghrib, mulai terdengar gemuruh warga yang bernondong-bondong mendatangi masjid wali untuk mendapatkan berkah 'Air Salamun', air keselamatan. Inti acara tersebut adalah pembagian Air Salamun. Air tersebut diambil dari sumur wali yang merupakan sumur peninggalan para wali. Setelah sebelumnya dibumbui bacaan doa-doa oleh para kyai dan para santri, dilengkapi dengan pembacaan ayat suci Al Qur'an sampai khatam 30 juz.

Masyarakat mempercayai bahwa dengan meminum Air Salamun, maka seluruh jasmani dan rohani kembali dibersihkan. Demikian juga segala penyakit disingkirkan. Air Salamun juga seringkali dibawa ke rumah sebagai 'tolak bala' di rumah, dan sebagian lagi disebar di area pertanian dan persawahan agar tanah membuahkan kesuburan.





Kearifan lokal seperti halnya melestarikan tradisi, ziarah wali dan penghargaan terhadap air, patutlah kita tumbuhkembangkan agar tercapai keseimbangan hidup: manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam.

-Sutrimo Astrada, pekerja seni di Njawa Teater- di Head-Quarter of Njawa Teater.

Tidak ada komentar:

SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA

  SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA Kau terlebih dulu ada Sebagai saudara tua yang setia Kau terlebih dulu berada di sini Siang malam diam-diam ...