10/12/09

Selingkar Bandu

oleh. Asa Jatmiko

Inilah aku; gadis desa yang teramat biasa. Kemewahanku paling-paling cuma selingkar bandu. Lain tidak. Bajuku tak lebih dari 10 potong dan semuanya sederhana. Lalu celana jeans beberapa potong. Rok aku punya satu, tidak lebih. Itu pun sudah usang, pemberian ibuku beberapa tahun silam. Aku tidak suka memakai rok. Memakai celana jeans terasa lebih nyaman.

Selingkar bandu warna kemerahan ini yang selalu mengiasi rambutku. Dengan rambut sedikit kuponi, ia setia menemani hari-hariku yang akhir-akhir ini terasa melelahkan. Ya, tepatnya sejak lelaki itu menghadiahkannya kepadaku. Aku sebenarnya telah menolaknya secara halus.
“Ini hadiah yang terlalu mencolok!” kataku memberi alas an.
“Tapi ini tak seberapa nilainya,” ujarnya.
“Iya, tapi aku bingung. Aku suka dengan hadiah, apapun, darimu. Tapi bandu? Bukankah sama saja jika aku memakainya, berarti memberitahu orang-orang tentang kita? Apa sebaiknya aku simpan saja?”
“Pakai saja,” ujarnya dengan nada yang sama dengan sebelumnya.
Aku tak mau beradu mulut lagi dengannya. Orang seperti dia, dengan kebiasaannya memimpin banyak anak buah, pasti akan tersinggung apabila ada orang yang suka membantah keinginannya. Sejak itu aku memakainya.
“Begitu lebih cantik,” ia mulai memuji.
Lalu aku menciumnya. Refleks. Lalu tiba-tiba aku merasa malu telah menciumnya. Jangan-jangan dia tidak suka dengan sikapku.
“Ma’af!” ucapku.
Dia tersenyum.

Sungguh! Mungkinkah aku telah bersikap di luar kontrol. Perempuan kalau sudah kena hatinya, biasanya memang menjadi lupa segalanya, kata seorang psikolog di sebuah tabloid yang pernah kubaca. Perasaannya meluap-luap mengatasi akal-pikirannya. Dan aku, sudah tertembakkah hatiku oleh lelaki itu?

Lelaki itu kemudian pergi, setelah kami berbincang cukup lama di rumahku. Kini tinggal aku dan selingkar bandu. Aku mencopotnya, kupandangi bandu kemerahan itu. Apa juga yang menarik? Rasanya tidak ada. Hanya hiasan bunga warna putih tergambar di sepanjang punggung bandu. Aku memutar-mutarnya, dengan ujung jari telunjukku. Gerigi-geriginya terasa di ujung kulit jari. Aku berhenti. Membalikkan bandu itu. Tiba-tiba aku teringat sesuatu!!

***

Suara jangkerik di luar jendela begitu jelas kudengar. Lalu kudengar suara sepatu yang tiba-tiba berhenti di depan pintu. Masih sempat aku mengirim sms balasan:
“Sudah, jangan pikirkan aku. Pikirkan isrimu yang lagi hamil itu…” Satu dua langkah sepatu kian jelas terdengar, sepatu wanita. Aku membuka pintu.
“Kamu yang namanya Ranti?!”
Aku melongo.
“Awas, kamu ya! Aku belum cukup punya bukti, tapi suatu saat jika terbukti kau gadis yang mengganggu suamiku, jangan tanya!” sesudah mengancamku ia bergegas pergi.
Aku tak mengerti apa maksudnya. Wanita itu pun aku tidak tahu jati dirinya. Kenapa tiba-tiba mendampratku. Dan kenapa aku hanya diam saja, melongo seperti kerbau dicucuk hidungnya.
“Aku hanya mau kamu. Jangan bahas dia lagi, ya…” lalu aku membaca sebuah sms yang baru masuk. Dari lelakiku. Aku mau menanyakan sesuatu kepadanya. Misalnya, apakah istrimu sudah mengetahui hubungan kita? Atau apakah istrimu seperti ini seperti ini….? Ah, tapi untuk apa? Aku gagal merumuskan pertanyaan. Atau aku terlalu sayang untuk menjerumuskan kelangsungan hubunganku ke suasana genting, padahal baru seumur jagung. Mana mungkin istri orang yang punya derajat tinggi itu tahu rumahku yang biasa di desa ini. Tidak mungkin, kataku meyakinkan. Tapi aku tak membalas sms-nya. Aku berangkat tidur.

***

Hari-hariku yang biasanya berlangsung amat biasa, akhir-akhir ini semakin rumit dan melelahkan. Rupa-rupanya sudah banyak orang yang kemudian mengetahui hubunganku dengan sang kepala bagian itu. Aku menangis ketika dia mendatangiku.
“Aku mengerti sekarang arti pemberianmu ini,” kataku sembari menahan isak. “Aku ingin menjadi orang biasa saja. Bergaul denganmu, hari-hariku jadi tidak karuan. Bergaul dengan orang penting seperti kamu, aku jadi ikut rumit. Aku tidak bisa.” Bagaimana tidak? Peristiwa selanjutnya adalah aku yang harus kesana kemari karena dipanggil oleh pihak management. Ditanya inilah, itulah…ditanya macam-macam…., sampai aku sendiri tidak mengerti mengapa mereka mengajukan pertanyaan sedemikian rumit sehingga aku tidak bisa menjawabnya. Satu-satunya pertanyaan yang bisa kujawab adalah apakah aku mencintai lelaki itu? Aku menganggukkan kepala. Dan itu membuat seisi ruangan tiba-tiba bermuka merah. Seolah marah kepadaku.
“Aku minta maaf,” ujarnya.
“Untuk apa?”

Dia tak menjawabnya.
“Aku tidak mau kariermu hancur karena aku. Sekarang kau kepala bagian, sebentar lagi kau dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi lagi. Jangan sia-siakan itu hanya karena aku. Sekarang dengar, bukan karena istrimu, tapi demi hidup masa depanmu. Oke?!” aku tak tahan untuk menangis.

Aku mencopot bandu di kepalaku. Lalu aku menjatuhkannya hingga berhenti di depan kakinya. Di bagian dalam bandu kemerahan itu, telah aku tulis dengan ujung pisau cutter: “Aku mencintaimu, tapi kembalilah kepada istrimu. Aku melepasmu….” ***

Tidak ada komentar:

SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA

  SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA Kau terlebih dulu ada Sebagai saudara tua yang setia Kau terlebih dulu berada di sini Siang malam diam-diam ...