10/05/12

Perulangan

Barangkali inilah bahayanya ketika suatu pekerjaan telah rutin dilakukan, yakni mengalami penurunan nilai. Karena sudah dilakukan berulang-ulang, kita seolah kehilangan 'nyawa'. Kita terjerumus dalam aktivitas tanpa roh. Ini, menurut saya, kecenderungan yang wajar. Tetapi, ketika kita menyadari sepenuhnya nilai aktivitas tersebut, seyogyanya perulangan itu justru makin menambah jumlah kredit point, melipatgandakan asupan penting, bagi hidup kita sehari-hari.

Saking seringnya melakukan aktivitas yang sama, juga akan menghasilkan respon-respon spontanitas, gerak reflek yang (paling tidak) sama. Seperti ketika kita menghapal sila-sila Pancasila, seperti ketika para aktor menghapalkan dialog perannya, dan semcamnya. Perulangan akan menghasilkan hapalan, dan hapalan yang terus-menerus tanpa disertai nilai dan amalan, hapalan itu akan diucapkannya kosong, blong, hampa dan miskin nilai. Apa sebetulnya yang mengakibatkan kekosongan itu, menurut saya, adalah keterlibatan (diri dalam) kita yang semakin menjauh, atau menafikan nilai. Bedakan pengalaman kita saat pertama kali melakukan aktivitas itu.

Saya teringat ketika dulu belajar naik sepeda. Pertama kalinya, perasaan yang muncul adalah rasa takut kalau terjatuh, keingin-tahuan bagaimana cara menjaga keseimbangan, ekstra hati-hati, dan hal-hal teknis semacamnya. Berulangkali mencoba dan jatuh, dan jatuh lagi. Beberapa saat sepeda saya kayuh kencang dan semakin kencang, karena dengan begitu sepeda bisa berjalan (menurutku) dengan seimbang. Dan kemudian, hilang kendali, lupa menarik gagang rem, menabrak pagar, dan jatuh pula.

Namun rupanya, kesuksesan mengendarai sepeda diraih, tepat pada saat saya melupakan hal-hal teknis itu. Apa yang ada dalam benak saya adalah mencoba memperhatikan jalan di depan, dan keseimbangan kemudian terjadilah.

Sekarang, naik sepeda adalah aktivitas biasa. Maksud saya, karena sudah di luar kepala, aktivitas naik sepeda jadi biasa. Bahkan berani pula dengan lepas stang! Tetapi, dimanakah nilainya? Hilang terlindas roda.

Tidak. Menurut saya, nilai dari aktivitas yang rutin itu tidak hilang atau menurun. Ia justru (mestinya) makin banyak membuahkan nilai. Seperti saat ini kita hapal kelima sila dari Pancasila, tetapi seolah kosong tanpa makna, dimanakah nilainya? Seperti para aktor yang telah berbulan-bulan menghapal naskah, pentas berulang-ulang dengan naskah sama di berbagai tempat, seolah makin terasa hambar, dimanakah nilainya?

Hilang kemana nilai dari aktivitas-aktivitas kita yang rutin dan biasa itu? Janganlah sampai kita terjebak, hingga rasa yang timbul adalah bosan dan monoton.-aj-

Tidak ada komentar:

SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA

  SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA Kau terlebih dulu ada Sebagai saudara tua yang setia Kau terlebih dulu berada di sini Siang malam diam-diam ...