Pada sebuah pagi berkabut, seorang kawan lama semasa SMA, tiba-tiba berkirim kabar melalui e-mail; misa penutupan Bulan Maria ini khotbahnya disampaikan oleh Romo Diakon Tri Kusuma. "Dia sudah makin pinter," katanya. "Semoga imamatnya abadi."
Kawanku ini memang spesial dalam tulisan saya kali ini. Menurut saya, perkataannya bisa bermakna ganda. Ia tidak hanya sekedar menjadi umat yang waktu itu mendengar homili, tetapi ia juga seorang umat yang pernah mengenyam pendidikan bagaimana "berhomili" yang baik menurut tata liturgi ekaristi Katolik. Dia adalah umat jebolan seminari. Paham gelagat sosial kemasyarakatan, mengerti logat para selibat.
Makna ganda yang aku maksud adalah mungkin pujian atau mungkin sindiran, yang mana kedua-duanya menyatakan tidak sesungguhnya sama sekali. Atau respon jujur, bahwa homili yang disampaikan Romo Diakon yang baru 3 bulan kaul itu makin mampu dipahami oleh umat.
Tapi itu tidak penting, karena yang lebih penting adalah surat balasan yang ingin segera saya sampaikan kepadanya. "Rupanya kamu masih setia mengikuti agenda Bulan Maria, Sobat."
Saya menghentikan semua aktivitas rutinku beberapa menit, mencoba menikmati desiran gairah yang tiba-tiba muncul ke permukaan. Seperti naiknya gelembung-gelembung udara dari perut tanah yang berabad kerontang. Membebaskan diri dari hiruk-pikuk kenikmatan tanah, yang sesungguhnya tak abadi.
Ada kelebat sosok-sosok yang dulunya biasa, kini menjadi pemimpin-pemimpin, menjadi imam-imam, entah bagi dirinya sendiri maupun untuk kalangan tertentu. Sosok-sosok anggun yang berdiri penuh simpatik, membagikan senyum dan kegembiraan bagi banyak orang. Tahukah kita, kegembiraan yang kita bagi kepada orang, adalah sama dengan memberikan kegembiraan kepada hati kita sendiri?
Sudah saatnya kembali. Kembali belajar menekuni kesunyian dengan telaten, rajin dan pantang menyerah. Tidak penting bahwa kegembiraan kita akan menyantuni berapa orang. Tidak penting bahwa senyum kita akan dibagi sampai jumlah berapa wajah. Dari dalam jiwa, memurnikan dengan ketulusan setiap saat dan kesempatan, itulah yang hakiki.
Dan itulah kabut pagi ini, perasaan yang mengikat, yang membuat saya ingin kembali mengembara pada sunyi jalan cinta. Kembali pada cinta. Kembali pada sumber-sumber mata air yang mengalirkan cinta. Yang rupanya telah lama saya abaikan.
Saya ingin kembali, menelusuri jalan sunyi dimana di sepanjang jalan tumbuh rimbun doa-doa. Saya ingin kembali menjadi manusia biasa, yang hanya berbekal kesungguhan ketika berurusan denganMu. Amin.
-AsaJatmiko-
Juni 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA
SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA Kau terlebih dulu ada Sebagai saudara tua yang setia Kau terlebih dulu berada di sini Siang malam diam-diam ...
-
Oleh. Sutrimo Banyak orang mengenal Kudus sebagai Kota Wali, atau juga Kota Kretek. Namun bukan itu saja, di sisi lain, Kudus juga banya...
-
Mengenal Lebih Dekat dengan Kelompok Terbang Papat Assalafiyyah. Di sebuah dukuh yang bernama Karang Wetan yang menjadi bagian dari Desa ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar