26/11/11

Menggali Teater di Kota Pabrik

Di sebuah kampus, seorang aktivis teater menyebut keberadaan teater kampus sebagai media pembebasan, yakni upaya mengenali, mengakrabi, menggauli dan mengerti kembali kemandirian setiap manusia sebagai pribadi yang unik dan spesial. Lalu apakah teater bagi buruh?

Pernyataan mengenai teater yang terlontar saat saya diundang untuk memberi workshop teater kampus di Jogjakarta oleh seorang mahasiswa di atas semakin liar mencari jawaban aktualisasinya ketika saya mulai berhadapan langsung dengan teater buruh.
Pertanyaan itu menggedor-gedor benak saya. Mereka, kaum buruh, selama ini lebih suntuk dengan pekerjaan kesehariannya. Lebih intens mengikuti ritme kerja yang sedemikian ketat dan mengikat. Sehingga sangat mungkin mereka sudah tidak tahu lagi sampai dimana kehidupannya berjalan, lupa pada sejuta kenangan masa kecil dan kampung halaman, dan jangan-jangan sudah tidak memikirkan lagi keberadaan dirinya untuk sekedar berrefleksi dan menimbang tinggal berapa galah lagi cita-cita bisa tercapai.

***

Baiklah kita padankan terlebih dahulu persepsi kita bahwa teater buruh merupakan teater yang dikelola dan dihuni oleh kaum buruh. Dalam pengertian sempit, kaum buruh adalah mereka para pekerja harian dan borong yang bekerja di pabrik-pabrik dengan penghasilan rendah dalam struktur organisasi pabrik. Mereka pula yang selama ini juga menjadi ujung tombak perkembangan perusahaan. Biasanya mereka juga merupakan pekerja harian, borong atau pekerja lepas, yang penghasilannya dihitung dari kuantitas hasil pekerjaan mereka. Sekaligus bahwa keberadaaan mereka selalu urgen terlebih ketika kita sudah mulai berbicara mengenai persoalan-persoalan di berbagai sektor dalam dunia industri.

Selain pengertian umum di atas, kaum buruh sendiri nampaknya juga memiliki pengertian tersendiri. Mereka acapkali menyebut dan mendefinisikan buruh sebagai embuh ora weruh, yang paling tidak akan berarti; tidak tahu (kepastian) nasib hidupnya. Pemahaman ini muncul barangkali karena mereka sadar betul bahwa keberadaan dan penilaian hasil kerjanya bergantung sepenuhnya terhadap kebijakan sang majikan. Mereka sendiri, seakan-akan, tidak memiliki kekuatan lagi untuk merubah nasibnya.
Tentu saja pemikiran tersebut belum kuat untuk dijadikan acuan faktual.

Akan tetapi, kita semua juga telah menyadari bagaimana kehidupan buruh di Indonesia, dimana mereka masih menjadi kaum marjinal dan cenderung abai dari perhatian. Keberadaan mereka akan menjadi sangat penting lagi ketika Indonesia sudah mulai mengarahkan konsentrasinya pada pembangunan dunia industri. Jika ceroboh, mereka bisa menjadi kekuatan yang sulit ditundukan. Oleh karena eksistensinya yang sedemikian penting, maka menjadi hal yang menunjang pula bagi kita untuk mulai berbicara mengenai ruang publik dan ruang ekspresi bagi mereka. SPSI dan federasi pekerja yang telah mulai tumbuh sekarang ini merupakan ruang publik kaum buruh. Tetapi ruang ekspresi? Dalam tulisan saya ini, saya memberanikan diri bahwa teater menjadi satu alternatif yang penting (meskipun bukan satu-satunya) bagi tersedianya ruang-ruang ekspresi tersebut.

***

Teater buruh menjadi ruang ekspresi kaum buruh yang akan bersifat khas dan unik, karena justru pada posisi buruh itu sendiri. Mungkin agak identik kekhasan tersebut dengan keberadaan teater kampus, yang para anggotanya sama-sama memiliki keterikatan struktural. Selain itu, persamaan lainnya adalah bahwa mereka terbangun dalam satu atau naungan yang kemudian memiliki kepentingan-kepentingan tertentu yang boleh dibilang sama. Akan tetapi, pada kesempatan tertentu teater kampus nampaknya lebih memiliki wibawa sendiri daripada teater buruh.

Barangkali hal tersebut terjadi, oleh karena pandangan khalayak terhadap kampus berbeda dengan pabrik. Kampus dipandang sebagai tempat berkumpulnya para intelektual, sementara pabrik lebih diisi oleh rutinitas dan aroma keringat kerja. Lantas bagaimana persoalan dan tantangan teater buruh kita? Bagaimana peluangnya ikut menyemarakan jagat teater Indonesia pada umumnya? Profesi mereka yang utama adalah sebagai buruh. Tentu akan sangat lain apabila teaterlah yang menjadi profesi. Rutinitas kerja dan perasan keringat mereka di dalam pabrik merupakan kenyataan dan pengalaman mereka setiap hari, serta barangkali cita-cita mereka. Teater, dengan demikian merupakan sesuatu yang asing pada awal kehadirannya, dan akan tetap merupakan nomor kesekian bagi mereka yang kemudian menceburkan diri terlibat berproses teater.

Konsekuensi logisnya bahwa intensitas dan konsentrasi terhadap teater akan tereduksi oleh kepenatan dan kesibukan kerja. Teater menajdi kegiatan pengisi waktu ketika urusan pabrik telah beres. Dan pada beebrapa kasus, kegiatan yang semula menjadi sekedar waktu itu pun bisa menjadi sebuah beban tersendiri. Terlebih ketika mereka menilai bahwa teater merupakan hal yang tidak hanya mengeluarkan energi, tapi juga menguras pikiran.

Tantangan yang kedua, masih ada hubungannya dengan uraian sebelumnya, bahwa insan teater buruh merasa terhambat oleh faktor pendidikan. Pada awal saya menceburkan diri terlibat di teater buruh, dan mencoba menyodorkan naskah-naskah untuk dibaca (dialog), jelas terlihat betapa kebanyakan dari mereka selama ini kurang memiliki tradisi membaca, apalagi mengucapkan kalimat yang dibaca sebagai dialognya.
Hal ini bisa dipahami, oleh karena rata-rata dari mereka hanya mengenyam pendidikan sekolah menengah. Ada yang cuma lulus SD, atau SMP dan menengah umum. Kesibukan mereka bekerja barangkali telah menenggelamkan pandangan mereka untuk melihat ‘dunia yang lain’.

Oleh karena demikian keadaanya, teater semakin memiliki tanggungjawab yang lebih luas lagi, untuk tidak mengatakan berat, sebagai arena belajar. Meski hal itu pun harus dilakukan secara perlahan-lahan, seiring tingkat pemikiran mereka menangkap wacana-wacana baru yang dihadapkan. Ini jelas akan memberikan warna tersendiri pula untuk teater buruh. Di samping faktor kontektualitas, naskah-naskah yang diangkat pasti akan lebih banyak menyuarakan hal-hal yang terjadi di sekitar mereka sendiri. Butuh waktu misalnya untuk berani mengangkat karya-karya setingkat William Shakespeare atau Samuel Becket dan sejenisnya.

***

Mengapa ruang ekspresi bagi buruh juga penting? Dalam struktur dunia industri, buruh menjadi bagian integral dari jalannya proses-proses produksi, distribusi dan sebagainya. Lebih dari itu, mereka merupakan ujung tombak dari lajunya sebuah pabrik. Kadangkala hal itu menenggelamkan eksistensi mereka sendiri. Singkatnya, mereka secara tidak sadar akan disebut sebagai mesin produksi sebuah perusahaan. Akan tetapi kita harus kembali melihat bahwa mesin produksi tersebut, misalnya, tetaplah manusia-manusia utuh yang lengkap dengan segala pikiran dan perasaan yang dimilikinya.

Oleh karena itu, ruang ekspresi tidak hanya sebagai selang penyaluran ekspresi tetapi juga niscaya akan menjadi kran yang membuka cara berpikir yang lebih humanis. Barangkali, pada setiap bagian HRD (Human Resources Department) menyadari ruang ekspresi sebagai pendidikan humaniora yang akan menyelaraskan misinya, yakni meningkatkan kualitas SDM.

Pada beberapa kesempatan, teater justru diberi peluang untuk tampil dan dinikmati bersama. Momentum semacam itu, jelas memiliki pengaruh kuat, karena membuktikan terbukanya jembatan komunikasi dan memisahkan jarak perbedaan-perbedaan.

***

Semangat dan gigih dalam kemiskinan, yang diteriakkan oleh Rendra bagi teater akan menjadi energi untuk kreativitas. Sembari teater buruh mulai membuktikan bahwa teater itu perlu hidup di tengah-tengah kesibukan kerja dalam perusahaan. Bahwa teater mampu memberi arti, paling tidak membawakan pemahaman-pemahaman yang lebih baik bagi buruh, dalam konteks kehidupan dan perilaku kerjanya. Teater buruh bisa menjadi agen informasi atau bahkan bengkel bagi terbangunnya sumber daya manusia yang lebih sehat.

Rasa senang, nikmat dan kepuasan batin yang mereka dapatkan akan menjadi bekal ke depan, sekaligus ikut memperkaya pengalamannya. Oleh karena itu, ruang ekspresi yang ideal bagi mereka adalah juga ruang rekreasi. Tempat melepas lelah, mencari kesegaran baru, dan syukur-syukur memberikan wacana-wacana pencerahan, yang nantinya penting bagi kehidupan di tengah masyarakat. Maka sambil berekpresi itu, teater menjadi gerbong yang melintasi hutan, perbukitan dan memperlihatkan sawah dan kebun, sungai-sungai di bawah jembatan serta semua yang dilewatinya.***

Tidak ada komentar:

SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA

  SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA Kau terlebih dulu ada Sebagai saudara tua yang setia Kau terlebih dulu berada di sini Siang malam diam-diam ...